POLICY FLASH: Pajak Properti Mewah Rp5 Miliar; Korporasi Wajib Hedging

Bareksa • 08 May 2015

an image
Foto udara perumahan di kawasan properti Tangerang, Banten, Selasa (5/5). Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) merencanakan pembangunan 15.000 unit rumah murah layak huni di wilayah Jabodetabek dengan investasi sekitar Rp900 miliar sampai Desember 2015. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Wajib hedging valas terhadap rupiah dengan rasio 20 persen sejak 1 Januari sampai 31 Desember 2015.

Bareksa.com - Berikut isu kebijakan yang diperoleh dari koran hari ini:

Pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 pada hunian sangat mewah, baik rumah maupun apartemen dari semula di atas Rp10 miliar menjadi di atas Rp5 miliar. Sebelumnya pemerintah berencana menurunkan batas pengenaan pajak pada hunian sangat mewah di atas Rp2 miliar.

Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito pada Rabu (6/5) mengatakan besaran Rp2 miliar bukan nilai yang bisa dikategorikan mewah. Selain mematok batasan dari harga, dalam aturan baru ini pemerintah juga mematok dari luas bangunan. Rumah dengan luas lebih dari 400 meter persegi akan digolongkan sebagai hunian sangat mewah.

Selain hunian, kendaraan bermotor roda empat dengan harga jual di atas Rp2 miliar atau kapasitas silinder di atas 3.000 cc, serta kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual lebih dari Rp300 juta atau kapasitas silinder lebih dari 250 cc juga dikategorikan sebagai barang sangat mewah. Aturan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal diundangkan, atau akhir Mei 2015.

***

Dalam kaitannya dengan kondisi pelemahan rupiah ke kisaran Rp13.000 saat ini, Bank Indonesia (BI) memperingatkan korporasi yang memiliki utang valas untuk melakukan hedging. Menurut aturan BI, korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri wajib hedging valas terhadap rupiah dengan rasio 20 persen sejak 1 Januari sampai 31 Desember 2015. Korporasi yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif berupa surat teguran.

BI akan menyampaikan informasi pengenaan sanksi kepada pihak-pihak terkait seperti kreditor di luar negeri, Kementerian BUMN bagi korporasi BUMN, Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bursa Efek Indonesia (BEI) bagi korporasi publik yang tercatat di bursa.