Bareksa.com - Lemahnya rupiah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan properti dalam negeri untuk menarik pinjaman dalam mata uang asing agar mendapat nominal yang lebih besar. Aksi ini dilakukan oleh PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), dan PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA).
Meskipun perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan lemahnya rupiah untuk meraih nominal pinjaman yang lebih besar, mereka harus menanggung risikonya jika nilai tukar rupiah semakin merosot sampai batas waktu jatuh tempo. Akibatnya, total utang yang harus dibayar akan mengalami pembengkakan.
BSDE pada April 2015 menerbitkan obligasi global senilai total $225 juta atau setara Rp2,92 triliun dengan asumsi kurs Rp13.000 per dolar. Obligasi ini memiliki tingkat bunga sebesar 6,75 persen per tahun dan akan jatuh tempo pada tahun 2020. Sementara SSIA akhir pekan lalu mengumumkan akan menerbitkan obligasi sebesar $200 juta atau setara Rp2,5 triliun yang akan jatuh tempo dalam lima tahun. Obligasi global ini memiliki tingkat bunga sebesar 12 persen per tahun.
Kedua perusahaan tersebut akan menggunakan mayoritas dana obligasi global untuk melakukan ekspansi di tahun 2015 dengan menambah anggaran belanja modal (capex) dan menyuntikan modal ke anak usaha.
Sebelumnya, di tahun 2014 tercatat beberapa perusahaan properti menerbitkan obligasi berdenominasi dolar AS. PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) pengelola Gandaria City, Jakarta menerbitkan obligasi global senilai $200 juta. Obligasi ini memiliki tingkat bunga sebesar 7,125 persen dan akan jatuh tempo pada 2019.
Perusahaan lain yang melakukan hal serupa adalah PT Alam Sutera Tbk (ASRI) dengan menerbitkan obligasi global senilai $225 juta dengan tingkat bunga 9 persen per tahun dan jatuh tempo pada 2019.
Jika dirupiahkan, di tahun 2014 nilai utang obligasi global PWON masih berkisar Rp2,4 triliun (asumsi kurs Rp12.000). Tetapi saat kurs rupiah mencapai Rp13.000 total utang obligasi global PWON meningkat jadi Rp2,6 triliun. Hal ini mengakibatkan pembengkakan pada beban bunga menjadi Rp106 miliar di kuartal I 2015 dari sebelumnya hanya Rp49 miliar. Marjin laba bersih PWON kuartal ini pun turun menjadi 27 persen dari sebelumnya 47 persen.
Tergerusnya marjin laba bersih juga terjadi pada Alam Sutera. Dalam laporan keuangan kuartal pertama tahun ini, tercatat bahwa ASRI pertama kali menerbitkan obligasi dolar pada tahun 2012. Setahun setelahnya, marjin laba bersih perusahaan ini mengalami tekanan menjadi hanya sekitar 23 persen dibandingkan sebelumnya hampir 50 persen seiring dengan melemahnya kurs rupiah.
Grafik: Marjin Laba Bersih ASRI vs Pergerakan Rupiah
Sumber: Bareksa.com
Seperti terlihat dalam grafik, perusahaan properti yang sudah memiliki utang dolar tentunya akan tertekan ketika rupiah semakin melemah. Pendapatan yang diperoleh dalam rupiah tidak sebanding dengan beban bunga maupun pokok utang yang harus dibayar perusahaan dalam mata uang dolar.
Sebagai informasi, dalam lima tahun terakhir kurs rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika. Pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kondisi global yang tidak menentu seperti rencana Bank Sentral Amerika untuk meningkatkan suku bunga tahun ini, masih membayangi pergerakan kurs rupiah.
Grafik: Pergerakan Rupiah 2010 Sampai Maret 2015
Sumber: Bareksa.com