Bareksa.com - Setelah melakukan penjualan tanah dalam jumlah besar ke beberapa tenan, rencana PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) untuk menerbitkan obligasi dolar tak pelak menimbulkan banyak pertanyaan bagi investor.
Pasalnya bagi perusahaan properti, mengambil pendanaan dengan mata uang dolar memberikan risiko nilai tukar yang besar karena pendapatan yang diperoleh perusahaan properti milik grup Sinarmas ini mayoritas masih dalam mata uang rupiah.
Bagus Putra Perdana, manajer investasi salah satu perusahaan asuransi di Indonesia dan juga pengamat pasar modal dengan pengalaman lebih dari 10 tahun mengatakan jika BSDE tetap akan menerbitkan obligasi dolar maka akan memberikan sentimen negatif karena bersifat spekulatif bagi perusahaan properti.
"Memang ada kemungkinan level rupiah menguat dari saat ini di sekitar Rp13.000,-. Tapi ada kemungkinan melemah lebih dari itu juga. Bukan ranah perusahaan properti untuk tebak-tebakan kurs," kata Bagus kepada Bareksa.com.
Baru-baru ini dikabarkan bahwa anak usaha di bidang properti yaitu PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) akan menerbitkan obligasi dolar (global bond). BSDE dikabarkan sudah bertemu dengan para investor di Hongkong, Singapura, dan London pada 15 sampai dengan 17 April 2015, seperti dikutip Investor Daily.
Perusahaan pengelola BSD City ini kabarnya akan menggunakan dana hasil obligasi untuk membiayai akuisisi lahan, pengembangan proyek, serta keperluan umum. Tetapi sampai saat ini belum diketahui nilai dari surat utang tersebut.
***
Permintaan akan properti meningkat setelah tingkat bunga mulai mengalami penurunan di akhir tahun 2009. BI Rate per Agustus 2009 turun menjadi hanya 6,5 persen. Tren rendahnya suku bunga berlanjut menjadi 5,75 persen hingga Mei 2013.
Selain tingkat bunga yang rendah, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia juga meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yang menumbuhkan konsumsi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tingginya permintaan properti mendorong melonjaknya harga rumah terutama di Jakarta dan sekitarnya. Sebagai contoh di tahun 2004, harga tanah di BSD City hanya berkisar Rp750 ribu per meter persegi dan bangunan Rp2 juta per meter persegi. Tetapi di awal tahun 2013 harga bangunan meledak menjadi Rp11 juta per meter persegi.
Kekhawatiran adanya aksi spekulatif di industri properti ini mendorong Bank Indonesia menerapkan kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut, diantaranya meningkatkan Down Payment (DP) terutama untuk kepemilikan rumah lebih dari satu unit. Selain itu BI juga kembali meningkatkan BI Rate berangsur-angsur hingga 7,5 persen di Maret 2014.
Tidak hanya bagi konsumen, BI juga menerapkan aturan baru bagi developer properti yakni KPR Inden. Bank hanya bisa memberikan dana KPR kepada developer properti sesuai dengan progres fisik bangunan.
Berbeda dengan aturan sebelumnya jika pembeli rumah telah menerima persetujuan KPR dari bank dengan DP 30 persen misalnya, maka dana kredit 70 persen langsung bisa diberikan kepada perusahaan properti. Jadi sebelum proyek properti dibangun, developer properti sudah bisa memperoleh pendanaan dari pra penjualan (marketing sales).
Tetapi per September 2013, developer properti tidak bisa menggunakan dana pra penjualan KPR jika bangunan fisiknya belum jadi. Bank akan memberikan dana KPR pembeli berangsur-angsur sesuai dengan progress bangunan fisik.
Praktis aturan ini mengganggu cash flow developer properti, terutama yang sedang melakukan proyek besar. Mengatasi hal tersebut beberapa developer melakukan penjualan tanah dalam jumlah besar.
Dalam laporan keuangan tahun 2013, BSDE tercatat penjualan tanah kepada perusahaan patungan seperti PT Bumi Parama Wisesa (bekerja sama dengan Hongkong Land) Rp726 miliar, PT AMSL Indonesia (bekerja sama dengan AEON Mall Jepang) Rp324 miliar, dan PT Indonesia International Expo (bekerja sama dengan Grup Kompas Gramedia) Rp280 miliar.
Di tahun 2015, BSDE juga berencana untuk mengerjakan proyek dengan nilai gross development value (GDV) sebesar Rp7,1 triliun.
Beberapa proyek yang akan menjadi andalan tahun ini diantaranya Elemen Lot 10 di superblok Rasuna Epicentrum senilai Rp2 triliun, Aeorium di perumahan Permata Buana Rp2 triliun, kawasan mixed used di Tanjung Barat Rp3 triliun, dan residensial Bumi Samarinda Damai di Kalimantan Timur Rp100 miliar. Rencanaya ke empat ini akan mulai dipasarkan pada smester dua tahun 2015.
Agresifnya proyek properti tersebut mendorong BSDE juga melakukan alternatif pendanaan lain termasuk dengan menerbitkan obligasi dolar ini.
***
Tanggal 25 Maret 2015 lalu, BSDE juga memperoleh dana segar dari aksi private placement. BSDE melakukan penerbitan saham baru tanpa right issue sebanyak 874,84 juta saham dan memperoleh dana segar sekitar Rp1,6 triliun.
Rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) per akhir tahun 2014 BSDE hanya 52 persen, dengan asumsi nilai utang yang sama maka dengan adanya tambahan modal ini, rasio DER akan turun menjadi 48 persen.
Sebenarnya, tanpa melakukan aksi tersebut struktur modal BSDE terbilang lebih kuat dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Beberapa emiten properti terbesar memiliki DER di atas 100 persen yang menunjukan tingginya utang perusahaan dibandingkan dengan modal yang dimiliki.
Sehingga dari segi rasio utang, BSDE masih bisa meningkatkan utang mengingat rasio utangnya masih relatif lebih kecil. Tetapi mengenai nilai tukar rupiah, memang masih ada kekhawatiran untuk kembali terjadi pelemahan terkait kekhawatiran akan langkah Bank Sentral Amerika, The Fed untuk meningkatkan suku bunga yang mendorong penguatan dolar Amerika. (np)
Grafik DER Perusahaan Properti
sumber: laporan keuangan 2014