Bareksa.com - PT Timah Tbk (TINS) akan mengurangi kontribusi pendapatan dari penjualan komoditas timah, bisnis utamanya, saat harga logam itu melemah. Nantinya, perusahaan pelat merah itu akan melakukan diversifikasi usaha, dan masuk ke bisnis tanah jarang (rare earth) yang harganya lebih mahal dan bahkan masuk ke bisnis properti.
Direktur Utama PT Timah Sukrisno mengungkapkan perseroan bisa mengurangi porsi penjualan timah menjadi 80-85 persen dari sebelumnya 90-95 persen pada saat harga timah global belum pulih akibat penambangan ilegal dan penyelundupan.
"Tidak hanya bergantung pada timah tetapi akan diversifikasi. Saya program lima tahun dan akan masuk properti tahun ini. Harapannya kontribusi timah dan non-timah bisa sampai fifty-fifty," katanya kepada wartawan di Jakarta.
Sejauh ini, PT Timah sudah membangun pilot plant (mini plant) pengolahan monasit untuk mendapatkan logam tanah jarang dalam bentuk Re(OH)3, yang harganya 10 kali lipat harga logam timah. Kapasitas produksi awal mencapai 50 kilogram per hari dan investasinya sekitar Rp25 miliar.
"Kalau mini plant, Juni commissioning, maka Agustus bisa mulai produksi komersial. Pembelinya sudah ada, dari Jepang," katanya.
Menanggapi wacana pemerintah untuk melarang ekspor produk tanah jarang, Sukrisno mengatakan bahwa perseroan sudah melakukan proses pengolahan sehingga ekspor bukan berupa barang mentah lagi.
Selain itu, perseroan juga tengah melakukan pembentukan anak usaha di bidang properti dengan mendirikan patungan bersama badan usaha milik negara lainnya yaitu PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Anak usaha baru itu dibentuk untuk mengelola lahan seluas 176 hektare milik PT Timah.
"Porsi kepemilikan Timah mayoritas 51 persen, sementara ADHI dan WIKA masing-masing 24,5 persen. Lantaran mayoritas, pendapatan properti akan masuk dalam konsolidasi perseroan."
Dia menjelaskan bahwa harga timah pada tahun ini sempat menyentuh $13.600 per ton, titik terendah dalam 10 tahun karena banyaknya pasokan terutama akibat penambangan ilegal. Harga penjualan rata-rata perseroan pun turun menjadi $18.930 per ton pada kuartal pertama tahun ini, anjlok dibanding $23.000 per ton pada periode sama tahun lalu.
Harga Rata-Rata Timah Januari 2014-Maret 2015 ($/metrik ton)
Sumber: PT Timah
Melihat harga yang masih rendah, PT Timah pun menahan penjualan meski produksi masih terus berjalan. Sepanjang kuartal pertama tahun ini, volume penjualan mencapai 5.304 ton, dibanding 4.319 ton pada periode sama tahun lalu. Padahal, produksi bijih mencapai 6.653 ton, naik dibanding 6.253 ton dan produksi logam pun naik menjadi 7.657 ton, dibanding 5.148 ton. "Intinya kami memang sengaja menahan penjualan bila harga masih rendah," kata Sukrisno. (pi)