Berita / / Artikel

Wacana Pengenaan Pajak Dikritik Pelaku Usaha; Pemerintah Dianggap Kejar Setoran

• 03 Apr 2015

an image
Ratusan wajib pajak mengantre menyerahkan Surat Pajak Tahunan (SPT) di hari terakhir penyerahan SPT di Kantor Pelayanan Pajak Pratama wilayah DJP Jawa Timur I, Surabaya (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Pemerintah tidak bisa tergesa-gesa menerapkan aturan baru terkait pajak

Bareksa.com – Meningkatnya belanja negara, mendorong naiknya target penerimaan pajak pemerintah. Sayangnya rencana perubahan kebijakan pajak dalam mengejar target tersebut dirasa membebankan pengusaha.

Di sektor perkebunan, Pemerintah sedang menyiapkan wacana kembali memberlakukan bea keluar atas ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). Dua opsi yang akan dilakukan pemerintah yakni menurunkan harga ambang batas pengenaan bea keluar CPO dari $750 per ton menjadi $0 sampai $500 per ton ataupun pungutan tetap jika harga CPO dibawah $750 per ton yakni $50 per ton.

Pada sektor properti, Pemerintah akan merubah pengenaan pajak pada rumah dan apartemen untuk golongan mewah (PPnBM) dan sangat mewah (PPh Pasal 22) berdasarkan besaran harga dan luas bangunan.

Tidak banyak juga wacana pengenaan pajak yang cukup aneh di telinga masyarakat, sebut saja rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada biaya tol. Lalu pengenaan materai sebesar Rp3.000 untuk setiap struk belanja senilai Rp250 ribu.

"Struk belanja pun seharusnya ada materainya. Di atas Rp250.000 seharusnya ada materai Rp3.000. Ini juga belum dilaksanakan. Ini kita akan ingatkan pelaku bisnis terutama ritel,” kata Oktria Hendrarji, Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lain DJP kepada awak media.

Menurutnya dokumen yang berkaitan dengan uang harus menggunakan materai.

Praktis kebijakan ini dirasa kurang bijak oleh Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) saat dihubungi Bareksa melalui telepon.

“Kita dari Aprindo jelas keberatan karena daya beli masyarakat sekarang sedang menurun. Selain itu, meski materai ini akan dikenakan kepada toko ataupun peritel, tetapi secara tidak langsung kami akan mengenakannya kepada konsumen. Jadi, ini akhirnya akan memberatkan konsumen juga.”

Tutum juga meragukan kebijakan ini bisa diterapkan kepada peritel untuk produk end-user.  Karena biasanya, konsumen yang membelanjakan uang mereka tidak memerlukan dokumentasi.

“Misalnya, kita beli kebutuhan bulanan di minimarket, apakah struknya akan disimpan? atau apakah masih diperlukan struk itu? tidak kan. Kalau seperti itu, perlu tidak dimateraikan? tidak kan,” ungkap Tutum kepada Bareksa.

Keberatan juga ditunjukkan Natsir Mansyur, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Menurutnya, sebaiknya pemerintah melihat kondisi dunia usaha terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan.

“Memang kenaikan pajak ini sebagai langkah pemerintah untuk menggenjot pendapatan, tetapi harus dilihat juga kondisi dunia usaha saat ini, iklim bisnis bagaimana apakah baik atau tidak. Kalau membicarakan target, kan seharusnya kita melihat semua itu terlebih dahulu. Karena realisasi bisnis saat ini kan lagi suram, lagi sepi. Bisnis lagi banyak masalah gitu.”

Selain pengenaan materai, pemerintah juga akan mengenakan pajak bagi perhiasan dan aksesoris mewah yang selama ini tidak kena pajak. Pemerintah nantinya akan mengenakan tambahan PPh untuk barang-barang seperti jam tangan, sepatu, dan tas yang harganya di atas Rp5 juta.

Pemerintah juga akan mengenakan pajak pertambahan nilai bagi pengguna listrik rumah tangga di atas 22.000 watt, serta akan menggalakkan pendapatan pajak dari wajib pajak non-karyawan seperti dokter, penjahit, notaris, dan akuntan  independen.

***

Berdasarkan pada data APBN yang diolah Bareksa, kenaikan target pajak tidak terlepas dari naiknya anggaran belanja tahun ini 5,7 persen dibanding tahun lalu menjadi Rp1.984 triliun. Tapi dalam analisis Bareksa sebetulnya bukan kali ini saja terjadi kenaikan pajak. Tiga tahun terakhir ini rata-rata target pajak naik 15,1 persen per tahun.

APBN-P 2015 dianggarkan penerimaan negara dari pajak mencapai Rp1.244 triliun atau hanya naik 12,6 persen dibanding target pajak tahun sebelumnya.Lebih rendah dari tahun tahun 2014 lalu, target pajak naik 20,1 persen dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp1.105 triliun.

Tapi yang menarik tingkat realisasi penerimaan pajak tahun tersebut termasuk tinggi yakni 91,85 persen. Padahal jika diingat, pada tahun tersebut tidak banyak wacana kebijakan pemerintah yang diterapkan.

Di tahun 2014, pemerintah hanya mengenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), selain pajak PPN, terhadap kendaraan bermotor jenis tertentu yang tergolong mewah. Tarif PPnBM yang dikenakan terhadap kendaraan bermotor yang tergolong mewah tersebut bervariasi, mulai dari 10 persen, 20 persen, 30 persen, 40 persen, 50 persen, 60 persen, hingga 125 persen.

Selain pengenaan PPnBM bagi kendaraan mewah, pemerintah juga menerapkan pengenaan pajak ekspor atau bea keluar (BK) bagi ekspor konsentrat mineral pasca diterapkannya pasal pelarangan ekspor mineral mentah sesuai UU No 4 Tahun 2009.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No6/PMK.011/2014, BK yang ditetapkan pemerintah adalah, tahun 2014 BK dikenakan sekitar 25 persen, tahun 2015 BK sekitar 35-40 persen, dan tahun 2016 BK yang dikenakan sekitar 50-60 persen.

Grafik APBN-P dan Realisasi APBN-P Periode 2012-2015

Sumber: Bareksa.com

Memang melambatnya pertumbuhan ekonomi tahun ini turut menekan potensi kenaikan pajak. Hingga akhir Maret 2015 saja penerimaan pajak pemerintah baru mencapai Rp170 triliun atau 13,13 persen dari target, terendah dalam tiga tahun terakhir. Sebagai gambaran, realisasi penerimaan pajak Januari-Maret pada tahun lalu saja nilainya mencapai Rp281 triliun atau 25 persen dari target.

Grafik %Realisasi Penerimaan Pajak Januari-Maret Terhadap Target Periode 2013-2015

Sumber: Kementerian Keuangan Diolah Bareksa

Wacana pungutan pajak dan berbagai langkah kebijakan baru juga sempat dikritik Darmin Nasution, mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2006-2009.

“Target penerimaan pajak tinggi, sementara waktu untuk merealisasikan terhitung sebentar. Ya akan sulit jika seperti itu. Harus ada tahapannya, tidak bisa terburu-buru agar tepat sasaran,” ujar Darmin.
  
Dia menjelaskan, banyak hal yang harus dibenahi dalam skema penerimaan pajak demi mencapai target yang sesuai. Pertama adalah perbaikan internal dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, agar terdapat kerja yang solid dan fokus.

Kedua, lanjutnya, adalah membenahi hubungan antara Ditjen Pajak dengan pihak industri dan pengusaha. Menurutnya, jika hubungan dengan dunia usaha bisa baik, maka tidak perlu susah payah dalam menagih pajak. “Ketiga, dalam menambah aparat penegak, tidak bisa secara instan. Petugas pajak itu minimal 5 tahun dulu dilatih agar kerjanya bagus. Kalau terburu-buru ya bisa tidak maksimal.”

(Baca juga: Darmin Nasution: Target Pendapatan Pajak APBNP Terlalu Tinggi)

Tags: