NPL Kredit Mikro Beberapa Bank Melejit; Belum Siap Garap Segmen Ini?

Bareksa • 17 Mar 2015

an image
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo (kedua kanan) didampingi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad (ketiga kanan) secara simbolis menyerahkan produk mikro dari lembaga jasa keuangan kepada perwakilan warga saat peluncuran Layanan Pembiayaan Mikro di Desa Nelayan (Antara/Prasetyo Utomo)

Ada bank yang rajin mendatangi debitur BRI, menawarkan mereka untuk pindah dan diberi pinjaman 2 kali lipat dari BRI.

Bareksa.com – Tingginya margin usaha yang ditawarkan segmen kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dibandingkan segmen kredit lainnya, sangat menarik minat industri perbankan, tetapi kenaikan non-performing loan belakangan ini menunjukan kurangnya kemampuan bankir-bankir dalam menggarap segmen ini.  

Dalam banyak kasus pemberian kredit, khususnya kepada nasabah kredit mikro, para bankir mengalami kesulitan untuk mengukur besarnya jumlah pinjaman yang pantas disalurkan kepada setiap nasabahnya.

Sering kali jumlah pinjaman melebihi kemampuan nasabah untuk memutar dana dalam kegiatan usaha, sehingga kelebihan dana digunakan untuk membeli barang konsumtif, dan pada akhirnya nasabah tidak mampu mencicil utangnya.  

"Ada bank yang belakangan rajin mendatangi nasabah debitur Bank Rakyat Indonesia (BRI), menawarkan mereka untuk pindah dengan diberi pinjaman modal kerja dua kali lipat yang mereka dapat dari BRI. Nasabah yang tidak siap dengan dana lebih membeli motor atau pengeluaran lain yang tidak produktif," ujar seorang manajer investasi, dengan dana kelolaan lebih dari satu triliun rupiah, kepada Bareksa.  

"Contoh seorang tukang gorengan atau pedagang sayur di pasar. Jika ditanya berapa penghasilannya per bulan, per hari, kebanyakannya tidak bisa jawab. Karena mereka memang tidak pernah benar-benar menghitung. Ini salah satu tantangan paling besar perbankan dalam menggarap sektor kredit mikro," tambah manajer investasi ini.  

Bank Rakyat Indonesia (BBRI) merupakan pionir kredit mikro di Indonesia. Pada saat BRI melakukan penawaran saham perdana di tahun 2003, prospektus yang didistribusikan ke investor banyak menarik perhatian pihak perbankan. Mereka baru sadar bahwa bisnis kredit mikro memberikan margin usaha yang sangat tinggi. PT Bank Mandiri (BMRI) salah satu bank yang terinspirasi dan tidak lama kemudian ekspansi ke segmen kredit ini.

Perlu diakui bahwa pengalaman panjang menggeluti segmen kredit mikro telah membuat bankir-bankir Bank Rakyat Indonesia memiliki keahlian lebih dibanding bankir-bankir lain.

Djarot Kusumayakti, direktur bisnis UMKM di Bank Rakyat Indonesia mengatakan bahwa BRI menempatkan auditor khusus yang bertempat tinggal dekat dengan objek binaan untuk memantau, sehingga proses penyaluran kredit sesuai dengan aturan BRI.

“Ini penting, karena jika terjadi proses yang salah saat ini, hal itu akan menjadi bagian dari kemungkinan masalah di kemudian hari. Dengan menempatkan auditor di lapangan, artinya kita juga sudah memasang alert warning," ujar Djarot saat dihubungi Bareksa melalui telepon genggamnya.

Segmen usaha mikro berperan besar dalam perekonomian Indonesia dan telah teruji lebih kuat melawan ancaman krisis. Destry Damayanti, Staff Ahli Kementrian BUMN, menjelaskan dari 57 juta unit usaha di Indonesia, 99 persennya merupakan pelaku usaha mikro.  Sementara, usaha kecil sebesar 1 persen, usaha menengah 0,1 persen, dan 0,01 persen sisanya merupakan kelompok usaha besar.

Pemerintah dan Bank Indonesia ikut mendorong industri perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit bagi segmen UMKM –khususnya segmen mikro. BI melalui kebijakannya juga akan mewajibkan perbankan untuk setidaknya menyalurkan 20 persen kreditnya ke segmen ini.

"Pemerintah berharap segmen ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena merupakan tulang punggung bagi perekonomian Indonesia," ujarnya ketika ditemui di Jakarta.

Dari penelusuran Bareksa, didapatkan lima perbankan besar yang penyaluran kredit modal usaha untuk UMKM berkontribusi besar bagi total portofolio kredit mereka.

Grafik Perbandingan Rasio Penyaluran Kredit Modal Usaha Beberapa Perbankan Periode 2010-2014

Sumber: Bareksa

Namun terbukti bahwa untuk memasuki segmen ini tidaklah mudah, terlihat dari kenaikan rasio kredit macet (NPL) kredit mikro beberapa bank yang mencoba masuk ke segmen UMKM. Meski belum mengkhawatirkan, nilai rasio NPL kredit mikro beberapa bank tersebut mulai meningkat sejak tahun 2010.

Beberapa bank seperti PT Bank Danamon Tbk (BDMN), PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mencatatkan kenaikan rasio NPL setidaknya dalam empat tahun terakhir. Pada kasus Bank Danamon, kenaikan rasio NPL seiring peningkatan penyaluran kredit untuk modal usaha.

Sementara lebih menarik perhatian, Bank BJB dan Bank BTN mengalami kenaikan rasio NPL pada saat penyaluran kredit untuk modal usaha menurun.

Kedua fakta di atas menunjukkan bahwa ketiga perbankan tersebut belum mampu mengelola resiko kredit bermasalah di segmen mikro ini dengan baik.

Grafik Perbandingan Rasio NPL Kredit Mikro Beberapa Perbankan Periode 2010-2014

Sumber: Bareksa

Bank Mandiri, yang mengklaim sebagai penyalur kredit mikro terbesar kedua nasional, mengakui bahwa menggarap segmen mikro memang tidak mudah bila dibandingkan segmen korporasi. Oleh sebab itu, menurutnya rasio kredit yang tidak lancar dan macet (NPL ratio) di BMRI masih dianggap wajar.

"Kami sadar bahwa usaha mikro memiliki pengelolaan keuangan yang tidak sebaik pada korporasi besar. Maka wajar bila rasio NPL untuk kredit mikro lebih tinggi," tutur Presiden Direktur Bank Mandiri Budi G. Sadikin ketika ditemui di Jakarta.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Destry Damayanti, yang sebelumnya menjabat sebagai Chief Econom Bank Mandiri. Menurutnya, sulitnya perbankan untuk memasuki bisnis kredit mikro ini salah satunya karena dalam penyaluran kreditnya tidak adanya jaminan (collateral).

Akibatnya, perbankan harus mengalokasikan potensi resiko kepada kreditur dalam bentuk bunga yang lebih tinggi.

“Kredit usaha mikro, mau tidak mau memang termasuk bisnis yang high risk karena tidak punya collateral. Bagi Bank, ini termasuk kredit high risk, sehingga ada risk premium di sana. Akibatnya, bunga kredit di bidang mikro lebih tinggi dibandingkan korporasi.”

Tingginya bunga kredit ini menjadi salah satu penyebab banyak kredit mikro yang bermasalah.

Solusi Tekan NPL

Ketiga perbankan dengan tingkat NPL yang mengalami kenaikan, bukannya tidak mencoba mengelola resiko kredit bermasalah tersebut. Bank Danamon, misalnya, telah meningkatkan kapasitas collection serta menerapkan credit scoring dalam melakukan analisa kredit.

“Selain itu, kita juga mengadakan pelatihan yang lebih baik pada staf pemasaran dan staf analisa kredit serta meningkatkan pemahaman staff akan lingkungan bisnis”, ungkap Investor Relation BDMN Ridi Sudarma dalam jawaban e-mail kepada Bareksa.

Di sisi lain, pemerintah juga mengambil langkah untuk menekan resiko kredit macet di perbankan. Destry juga mengungkapkan cara tersebut adalah dengan sharing jaminan.

“Makanya, pemerintah membentuk Jamkrindo (jaminan kredit Indonesia) dan Askrindo untuk sharing resiko dengan perbankan. Jadi, resiko tidak hanya ditanggung oleh perbankan sebagai debitur. Lalu pada program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilakukan pemerintah pusat, perbankan hanya menanggung 30 persennya. Jadi bunganya bisa ditekan lebih rendah.”

Untuk menghadapi resiko akibat tingginya bunga, lanjut Destry, maka perbankan harus mengenal debiturnya dengan baik. “Karena di kredit mikro tidak ada jaminan yang jelas. Kita harus mengenal siapa customer kita. Jadi, harus tahu track record-nya.“

Hal ini yang menjadi keunggulan BRI sebagai pemain lama dan mengerti kondisi pasar kredit mikro. Kondisi ini juga tampak dari terkendalinya rasio NPL kredit mikro milik Bank BUMN tersebut.

“Mereka punya jaringan, teknologi, orang-orang yang mengerti, dan nasabah yang loyal. Itu karena mereka sudah lama di situ (kredit mikro). Jadi mereka tahu track record, mana nasabah yang loyal dan mana yang tidak. Dan kemungkinan kebobolannya pun jadi lebih kecil, beda dengan pemain baru yang belum tahu siapa dan track record nasabahnya,” tambah Destry. (qs)