Darmin, Budi Sadikin & Sulaiman Cermin Ambisi Bank Mandiri Genjot Sektor Mikro

Bareksa • 17 Mar 2015

an image
Dirut Bank Mandiri Budi G. Sadikin (kedua kiri) berfoto bersama dengan Direktur Tardi (kanan), Direktur Kartini Sally (kedua kanan) dan Direktur Ahmad Siddik Badrudin (kiri) usai menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. di Jakarta, Senin (16/3). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Bank Mandiri menargetkan kredit UMKM naik 30 persen menjadi Rp89 triliun

Bareksa.com - Keseriusan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menggenjot kredit sektor mikro tercermin dari diangkatnya Darmin Nasution sebagai Komisaris Utama dan Sulaiman A Arianto sebagai Wakil Direktur Utama.

Darmin dikenal sangat pro dengan pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan internal. Ketika menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia periode 2010-2013, Darmin berani untuk memangkas suku bunga acuan hingga ke level terendah yakni 5,75 persen guna mendorong pertumbuhan kredit.

Dalam wawancara eksklusif kepada Bareksa.com, Darmin mengatakan kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita hanya 30 persen, sangat jauh dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang lebih dari 100 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh bank melainkan dari sumber-sumber lain terutama dana asing. Akibatnya ekonomi kita sangat rentan terhadap goncangan dari eksternal. (Baca juga: Darmin Nasution: Atasi Gejolak Rupiah, Jangan Takut Berpredikat "Ganggu Pasar")

Sumber: Bareksa.com

Sementara itu Sulaiman juga memiliki latar belakang yang mumpuni di sektor mikro. Mantan direktur PT Bank Rakyat Indoensia Tbk (Persero) BBRI ini sempat membawahi Direktorat Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di BRI pada periode 2006-2009 sebelum menangani bisnis komersial.

Selama masa jabatannya itu, jumlah outlet mikro BRI meningkat 426 unit menjadi 4.538 unit pada 2009 dari sebelumnya 4.112 unit pada 2005 berdasarkan annual report BRI tahun 2009.

Budi Sadikin, Direktur Utama BMRI juga kembali diangkat sejak periode April 2013Pria lulusan Ilmu Nuklir ITB ini mulai bergabung di Bank Mandiri sejak 2006, sebagai Direktur Micro & Retail Banking.

Budi, yang memegang sertifikat Chartered Financial Consultant dan Certified Life Underwriter dari Singapore Insurance Institute pernah menjabat Senior Vice President Director of Consumer and Commercial Banking, ABN AMRO Bank Indonesia & Malaysia. Pada 2004, dia pindah ke PT Bank Danamon Tbk sebagai Executive Vice President, Head of Consumer Banking and Director di Adira Quantum Multi Finance.

Tiga posisi puncak BMRI yang diisi oleh orang-orang yang berkecimpung di sektor mikro sepertinya bukan merupakan kebetulan semata. Menurut Manajer Investasi BNI Asset Management Hari Septanto, selama ini BMRI dinilai belum cukup berhasil dalam eksekusi kredit di sektor mikro, padahal di segmen ini marginnya besar.

"Pertumbuhan kredit mikro yang disalurkan BMRI lebih tinggi dibandingkan dengan industri karena baru mulai dikembangkan, tetapi kualitas kredit masih rencah yang tercermin dari besaran NPLnya, tidak seperti BBRI," kata Hari ketika dihubungi Bareksa.com.

Dalam laporan riset yang telah disampaikan kepada nasabah, Nicolaos Oentung, Analis Macquarie Capital Securities Indonesia mengatakan memiliki ambisi untuk meningkatkan Net Interest Margin (NIM) menjadi 6,6 persen dari 5,5 persen dan Return on Equity ROE menjadi 27 persen dari 20,9 persen dalam lima tahun.

Nico juga melihat sosok Darmin Nasution yang ketika menjabat sebagai Gubernur BI memiliki keyakinan kuat mendorong penetrasi kredit nasional dan meningkatkan efisiensi sektor perbankan melalui penurunan rasio-rasio biaya dan NIM.

"Akan menarik untuk melihat dinamika yang terjadi di bawah pengawasan Darmin Nasution," tulisnya dalam riset tersebut.

Sementara itu jika dilihat dari laporan keuangan tahun 2014, total kredit mikro BMRI mencapai Rp36,03 triliun, meningkat 33,2 persen dibandingkan penyaluran pada setahun sebelumnya. Kredit mikro bersama dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan kredit konsumen dikategorikan sebagai kredit ritel, yang pada tahun lalu mencapai Rp158 triliun atau mencakup 33,2 persen penyaluran kredit.

"Tahun ini target kredit kita ke UMKM (Usaha Mikro dan Kecil Menengah) itu Rp89 triliun, naiknya 30 persen (dari perolehan tahun lalu). Kalau UKM saja di atas 20persen," ujar Budi G. Sadikin ketika ditemui di Jakarta.

Sebagai informasi, yang disebut dengan kredit mikro di BMRI adalah pembiayaan bagi semua pemilik usaha mikro dengan limit kredit usaha mulai Rp50 juta hingga Rp200 juta (khusus fasilitas top up atau penambahan pagu).

Namun, penyaluran kredit mikro bukan tanpa tantangan karena ada ancaman rasio kredit macet yang lebih tinggi daripada yang terjadi di segmen korporasi. Budi mengakui bahwa usaha mikro memiliki pengelolaan keuangan yang tidak sebaik pada korporasi besar sehingga rasio kredit macet (non-performing loan/NPL ratio) di BMRI dalam kisaran 3,5 persen dianggap masih wajar. (Baca Juga: NPL Kredit Mikro Beberapa Bank Melejit; Belum Siap Garap Segmen Ini?)

Padahal dari segi margin, segmen mikro memiliki keuntungan yang besar. Di tahun 2014 saja, pendapatan bunga bersih dari segmen mikro dan retail mencapai Rp17,4 triliun, atau mencakup 47,18 persen dari total keseluruhan.

Kontribusi Segmen Kredit Mandiri

Sumber: Perseroan

B.S. Kusmuljono yang mengisi jabatan Komisaris Independen diketahui juga merupakan Ketua Komite Nasional untuk Pemberdayaan Keuangan Mikro Indonesia (PKMI) sejak 2005. Ipar dari Aburizal Bakrie ini juga pernah menjabat Presiden Direktur PT Permodalan Nasional Madani dari 1999 sampai 2005.

Lalu yang menarik juga pada pergantian manajemen ini, terdapat nama Goei Siauw Hong sebagai Komisaris Independen. Latar belakang Goei Siauw Hong yang bukan berasal dari perbankan melainkan analis di bidang pasar modal cukup memancing perhatian investor. Pria kelahiran Jember 1964 ini berhasil mendapat gelar CFA (Chartered Financial Analyst) dari AIMR dan menjadi orang Indonesia keempat yang berhasil mendapat gelar bergengsi di pasar modal itu.

Goei menjadi salah satu analis terbaik Asia dari majalah Asiamoney dan sempat menduduki posisi Head of Research di Nomura Indonesia tahun 1999. Sayang, Nomura memutuskan untuk menutup cabangnya di Jakarta sehingga terjadi lay-off besar-besaran. Setelah krisis finansial 1999, Goei memulai bisnis properti di Banjarmasin Kalimantan Selatan dan menjadi konsultan untuk beberapa perusahaan nasional dan internasional. (np)