Bareksa.com – Pemerintah tengah mengkaji dua aturan untuk mengurangi defisit dalam transaksi berjalan Indonesia. Aturan tersebut diharapkan dapat menjaga nilai tukar rupiah menjadi lebih kuat karena didorong oleh ekspor Indonesia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan akan terus mewaspadai dan membuat kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat rupiah, di luar kebijakan intervensi Bank Indonesia.
"Kami melihat ada dua cara, langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, kita harus memperbaiki CAD (defisit transaksi berjalan) tanpa mengganggu anggaran infrastruktur," katanya di depan wartawan di Jakarta 10 Maret 2015.
Dalam neraca berjalan barang, lanjutnya, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan jangka pendek yaitu beleid anti-dumping yang melindungi pasar dari produk dengan harga tidak wajar. Kebijakan tersebut akan tertuang dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Bambang menjelaskan bahwa selama ini bila ada tuduhan dumping suatu negara, maka akan ada investigasi yang menghabiskan waktu setengah sampai setahun. Waktu investigasi tersebut dapat mengganggu neraca perdagangan karena barang impor yang tengah diselidiki itu terus masuk ke pasar dalam negeri.
"Dengan kebijakan yang baru nanti, dimungkinkan bagi kita mengenakan bea masuk sementara di depan kalau ada tuduhan dan indikasi dumping terhadap suatu barang. Maka, kita bisa menetapkan kebijakan anti-dumping sementara dan tindakan pengamanan sementara," jelasnya.
Dia pun mengatakan, dalam mekanismenya pemerintah akan membebankan biaya bagi produk itu sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal sehingga akan mampu mengendalikan laju impor. Kalau tidak terbukti, maka dananya akan dikembalikan tetapi jika ternyata terbukti, maka tindakan ini menjadi permanen.
"Dengan kebijakan ini, kita dapat mengontrol impor karena biaya barang tersebut menjadi mahal dan permintaannya akan berkurang."
Kebijakan yang kedua, lanjut Bambang, adalah revisi keringanan pajak (tax allowance) yang diperkirakan akan selesai akhir bulan ini. Keringanan pajak akan diberikan bagi perusahaan yang melakukan ekspor sebesar minimal 30 persen dari penjualannya.
"Keringanan dapat berupa pengurangan pajak penghasilan sekitar 30 persen, percepatan depresiasi dan amortisasi, diskon tarif dividen. Ini juga bertujuan untuk mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan ekspor," katanya.
Nilai Tukar Rupiah
Nilai Tukar rupiah masih terus terdepresiasi karena menguatnya dolar Amerika. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah telah menyentuh Rp13.069 per dolar Amerika siang ini atau terdepresiasi 0,14 persen. (Baca juga: Dolar Perkasa, Mata Uang Regional Mayoritas Melemah; Rupiah Dekati Rp13.100/$)
Chief Economist dan Investor Relation Bahana Securities Budi Hikmat mengungkapkan depresiasi mata uang yang terjadi saat ini akan besar dampaknya bagi negara-negara yang memiliki defisit dalam transaksi berjalannya.
“Negara yang mengalami defisit, seperti Indonesia, jelas membutuhkan dana pembiayaan dari luar (berupa utang luar negeri) untuk membiayai defisit. Akibatnya, nilai mata uangnya akan cenderung melemah,” tulis Budi dalam laporan riset yang telah dibagikan kepada nasabahnya 9 Maret 2015.
Grafik Perbandingan Nilai Tukar Beberapa Negara Berkembang Terhadap Dolar AS
Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Rupiah, tetapi juga oleh mata uang negara berkembang lainnya. Turki, salah satu contohnya.
Mata uang Lira Turki telah melemah 12,21 persen menjadi TRY2,61 juta dari TRY2,33 juta per dolar AS pada awal tahun. Pelemahan tersebut akibat besarnya defisit perdagangan Turki yang nilainya mencapai 7,9 persen terhadap PDB, atau hampir dua kali lipat Indonesia.
Perbandingan Surplus/(Defisit) Berjalan Beberapa Negara Berkembang Periode 2006-2014
Sumber: Tredingeconomic, diolah Bareksa
Di sisi lain, penguatan malah terjadi pada mata uang Peso Filipina dan Baht Thailand karena posisi kedua negara relatif lebih baik dibandingkan Indonesia. “Jadi, bila kita menginginkan mata uang kita stabil dan menguat, maka kita harus menguatkan tekad untuk menjadi negara yang produktif dan kompetitif.”
Sementara itu, Joshua Tanja, Head of Research UBS, memperkirakan rupiah akan terus melemah ke level Rp13.250 per dolar AS pada akhir 2015. (hm)