Bareksa.com - Rupiah menempati peringkat ketiga paling besar depresiasinya terhadap dolar Amerika selama periode setahun terakhir, dan pada bulan-bulan terakhir ini masih mengalami pelemahan. Siang ini, rupiah melemah ke level Rp12.975 per dolar, padahal pada pagi hari rupiah sempat menguat hingga Rp12.960 per dolar Amerika.
Menurut riset Maybank Kim Eng Securities yang dibagikan kepada investor, rupiah telah terdepresiasi sebesar 4,6 persen sejak awal tahun (year to date/YTD). Sedangkan secara year-on-year (yoy) telah terdepresiasi hingga 11,8 persen. Dibandingkan dengan negara lain, depresiasi rupiah menempati peringkat ketiga terburuk setelah Brazil Real dan Australia Dollar.
Tabel: Peringkat Mata Uang Beberapa Negara yang Mengalami Depresiasi Tertinggi secara YTD dan YoY
Source: Bloomberg, MKE yang terdapat dalam riset Maybank Kim Eng
Depresiasi rupiah yang terjadi hingga kini disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Menurut Head of Research PT Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, faktor eksternal yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah masih tingginya ekspektasi pelaku pasar terhadap The Fed yang akan meningkatkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. "Paling cepat The Fed menaikkan Fed rate bulan Juni nanti."
Sementara faktor internalnya adalah Bank Indonesia melakukan kebijakan yang berlawanan dengan The Fed, yakni dengan memangkas BI rate. "Kalau dari internal sendiri, Bank Indonesia malah memangkas BI rate. Belum lagi deflasi Bulan Februari yang kemungkinan akan mendorong Bank Indonesia untuk kembali menurunkan BI rate," papar Ariston kepada Bareksa.
Ariston menambahkan dengan adanya kebijakan yang berlawanan tersebut, justru akan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika semakin melemah.
Bank Indonesia sendiri telah melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi. Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga volatilitas agar tetap stabil. "Bank Indonesia melakukan intervensi yang menjaga volatilitas rupiah agar depresiasi rupiah tidak bergerak cepat," kata Ariston.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih bahwa saat ini Bank Indonesia sedang berfokus untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan intervensi apabila volatilitas rupiah terlalu tinggi.
Sedangkan menurut Isnaputra Iskandar dalam riset Maybank Kim Eng, kebijakan Bank Indonesia saat ini bukan untuk menargetkan rupiah agar berada di level tertentu, melainkan untuk menjaga volatilitas rupiah sehingga barang yang diekspor Indonesia tetap kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dalam riset tersebut juga menjelaskan bahwa jika rupiah terdepresiasi 1 persen, ekspor akan meningkat 0,11 persen dan menurunkan impor hingga 0,29 persen.
Dengan kondisi ini, Ariston memprediksi nilai tukar rupiah akan berada di atas lebel Rp12.800 per dolar hingga akhir tahun. Sementara Lana masih optimistis pergerakan nilai tukar rupiah berada di level Rp12.700-12.800 per dolar pada akhir tahun pasca Fed rate dinaikkan. (qs)