Terjepit Renegosiasi Kontrak di Indonesia, Saham Freeport-McMoran Ambrol

Bareksa • 27 Jan 2015

an image
Chairman Freeport-McMoran James R. Moffet (kanan) didampingi Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (kiri), memberi keterangan pers di Kementerian ESDM, Jakarta, 25 Januari 2015 (Antara Foto/Ismar Patrizki)

Sejak akhir Juli 2014 harga saham FCX turun 48,3%, menjadi $19,24 per saham, Senin kemarin.

Bareksa.com - Kinerja Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (FCX), induk PT Freeport Indonesia, ternyata anjlok sejak awal tahun 2014. Penyebabnya, mereka terhimpit masalah renegosiasi kontrak karya tambang Grasberg di Papua, Indonesia; serta terus melorotnya harga minyak dunia.

Sebagaiman terlihat di grafik di bawah, harga saham FCX anjlok hingga 18 persen menjadi $30,94 per saham pada periode 1 Januari sampai 4 Februari 2014 akibat dihentikannya produksi di Indonesia terkait diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah. Harga saham mulai kembali menguat hingga $39 pada awal Juli 2014 menyusul munculnya sinyal Freeport akan kembali melakukan ekspor.

Grafik: Pergerakan Harga Saham FCX Periode 1 Januari 2012 - 23 Januari 2015

Sumber: Yahoo Finance

Namun, FCX kembali tergelincir harga minyak dunia yang terus mengalir turun. Sejak akhir Juli 2014 minyak jenis Brent ambrol 54 persen menjadi $48,79 per barel pada 23 Januari 2015. Harga saham FCX juga terpenggal 48,3 persen di periode yang sama menjadi $19,24 per saham.

Grafik Pergerakan Harga Minyak Jenis Brent Periode 1 Januari 2014 - 25 Januari 2015

Sumber: oil-price.net

Kontribusi Freeport Indonesia

Menurut paparan publik Freeport per November 2014 lalu, sebanyak 74 persen kontribusi laba usaha sebelum penyusutan FCX berasal dari produksi tambang konsentrat tembaga, emas, perak. Sementara sisanya diperoleh dari produksi minyak dan gas.

Jika melihat demografi tambang yang dikelola FCX, dari empat lokasi tambang mereka, hanya tambang di Grasberg-Papua, yang konsentrat tembaganya juga memiliki kandungan emas dan perak. Tambang tersebut dikelola oleh PT Freeport Indonesia yang 90,64 persen sahamnya dimiliki FCX.

Grafik: Peta Operasi Produksi Freeport Per November 2014

Sumber: Freeport

Proyeksi keuangan FCX menyebutkan 28 persen laba usaha sebelum penyusutan di tahun 2015 atau 2016 bakal berasal dari Indonesia; demikian tertera dalam laporan presentasi Freeport pada 14 November 2014. Artinya, ini terbesar kedua setelah Amerika Utara yang 50 persen, yang memproduksi minyak dan gas serta tembaga.

Tampak di laporan keuangan Freeport, akibat dari pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah, kontribusi pendapatan dari Freeport Indonesia anjlok drastis menjadi $470 juta saja atau hanya 7 persen dibandingkan total pendapatan di kuartal pertama 2014 sebesar $6,5 miliar. Setelah keran ekspor kembali dibuka pada Agustus 2014, kontribusi pendapatan dari Freeport Indonesia kembali melonjak jadi $1,08 miliar atau 19 persen dari pendapatan kuartal ketiga di tahun 2014.

Grafik: Pendapatan Freeport ($ Juta)

Freeport telah beroperasi di Indonesia selama 45 tahun. Pada tahun 1967, Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (generasi pertama) sebagai penanaman modal asing (PMA) dengan masa operasi 30 tahun. Kontrak karya tersebut kembali diperpanjang pada 1991 (generasi kedua) dan berlaku 30 tahun yang akan berakhir pada tahun 2021.

Pada tahun 2012, pemerintah Indonesia meminta renegosiasi kontrak untuk memperoleh nilai tambah.

Berbagai langkah pembenahan untuk memulai renegosiasi kontrak-kontrak tambang, pun dimulai. Salah satunya adalah dengan mengesahkan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang melarang ekspor bahan mentah mulai 12 Januari 2014.

Freeport termasuk salah satu perusahaan yang terkena aturan tersebut. Keran ekspor baru kembali dibuka pemerintah setelah Freeport menandatangani kesepakatan (MoU) pada 25 Juli 2014 yang salah satunya berisi komitmen untuk membangun pabrik pengolahan tambang (smelter) di Gresik.

Selama ini, hanya 40 persen produk Freeport diolah di dalam negeri melalui PT Smelting Gresik, sebuah pabrik pengolahan konsentrat tembaga di Jawa Timur. Pabrik yang berdiri sejak 1996 tersebut merupakan kerja sama dengan konsorsium Jepang -- termasuk Mitsubishi -- sedangkan Freeport hanya mengendalikan 25 persen sahamnya.

Dibutuhkan biaya investasi yang besar, sekitar $2,3 miliar, untuk membangun smelter dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Dengan alasan itu, sebagaimana diberitakan Kompas, Freeport lalu meminta syarat perpanjangan kontrak hingga tahun 2031. (kd)