Bareksa.com – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyebutkan pekerjaan pemerintah pada tahun 2015 untuk menjaga perekonomian tumbuh sesuai harapan cukup berat. Namun tindakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM sudah tepat dan bisa menjadi modal yang baik.
Dalam ekonomi outlook yang diadakan oleh di Jakarta, Kamis 22 Januari 2014, ketua Kadin, Suryo Bambang Sulisto, memaparkan beberapa hal yang digarisbawahi oleh Kadin.
“Disektor “kemaritiman”, pemerintah Jokowi akan berusaha untuk mengembalikan “kejayaan sektor maritim”. Ini merupakan langkah tepat karena secara geo-ekonomi, lautan Indonesia yang meliputi 75 persen dari wilayah teritorial Indonesia,Selama ini sumber daya lautnya belum dimanfaatkan secara optimal,” katanya.
Ia melanjutkan, dibalik rencana tersebut ada tantangan dan permasalahan besar dan komplek. Kadin menilai peningkatan produksi sumber daya kelautan dapat diupayakan melalui perubahan paradigma “capture” ke “harvest” dengan mengembangkan lumbung ikan (fish stock) dan marine culture.
Upaya tersebut harus didukung dengan pengembangan kawasan industri perikanan terpadu (integrated fish industry) diwilayah yang dapat menjadi “connectivity hub” dengan kapal perikanan yang memadai. Upaya pencegahan terhadap “illegal, irresponsable and unreported fishing” harus terus dilaksanakan secara konsisten dan efektif.
Di sektor Industri, Kadin menilai pemerintah harus memberikan priorotas kepada industri yang meningkatkan nilai tambah dalam pemanfatan sumber daya alam. Suryo mengatakan hilirisasi komoditi pertambangan dan perkebunan (sawit, karet, kakao)harus didorong secara optimal, mengingat kondisi dan potensi geografi Indonesia yang sangat mendukung.
“Selama ini sebagian besar produk pertambangan dan perkebunan dijual dalam bentuk bahan mentah. Selain itu pemerintah perlu menyusun “strategi substitusi impor”untuk menggantikan produk-produk yang di-impor, terutamaproduk-produk barang modal dan produk-produk agroindustri,” katanya.
Ia melanjutkan, Kadin sepenuhnya mendukung upaya pemerintah kearah swasembada pangan. Namun untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan subsidi yang tepat sasaran dari pemerintah, terutama untuk pupuk, benih dan pestisida, serta pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan dalam negeri.
Di bidang investasi, Kadin menekankan pemerintah untuk “jemput bola” dengan mendatangi korporasi-korporasi besar yang memiliki rencana investasi besar dan mempunyai pengaruh besar dalam kelompok investasi global. Strategi ini sudah sejak lama digunakan oleh Singapore.
Untuk hal ini BKPM harus memiliki cukup wewenang untuk menawarkan insentif-insentif investasi kepada korporasi-korporasi besar asing, bukan hanya sarana dan prasarana investasi, seperti kemudahan perijinan, pembebasan lahan, akses transportasi termasuk transportasi publik, ketersediaan tenaga ahli yang bertaraf internasional.
Menurutnya pemerintah juga harus memperhatikan aspek-aspek sosial yang diperlukan oleh investasi asing seperti rumah sakit yang berkualitas, sekolah yang berkualitas, tempat rekreasi yang baik termasuk teater, ketersediaan museum, dan lain-lainnya.
“Beberapa praktek-praktek yang berlaku selama ini yang tidak menguntungkan bagi negara seperti memarkir hasil ekspor devisanya diluar negeri dan tidak kembali ketanah air, sejumlah perusahaan asingmereripratriasi seluruh keuntungan perusahaannya keluar negeri, dan terdapat praktek transaksi bisnis didalam negeri yang dilakukan dengan menggunakan valuta asing,” katanya.
Terkait dengan kontrak-kontrak gas, Kadin menilai sudah waktunya pemerintah meninjau kembali kontrak-kontrak penjualan gas dengan harga dibawah harga pasar dan melakukan “renegosiasi” kontrak karya atas kontrak-kontrak gas yang ada.
“Renegosiasi bukan hal yang tabu, dan praktek renegosiasi semacam ini sudah berhasildilakukan oleh Tiongkok dan terhadap Jepang. Negara-negara mitra akan memahami dengan penjelasan tentang kepentingan nasional. Kita harus profit oriented dan tidak political oriented,” katanya.
Ia melanjutkan, pemerintah baru perlu mengoreksi kesalahan pemerintah yang lalu yang membiarkan kontrak-kontrak gas yang merugikan kepentingan nasional, apalagi dalam situasi dimana pengembangan industri nasional sangat membutuhkan dukungan energi. Sungguh tidak tepat apabila negara kaya disubsidi oleh negara yang kurang kaya. (np)