Bareksa.com - Manajemen Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII) menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana (DIS), salah satu debiturnya yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Terhitung tanggal 5 Juni 2014, PT Dhiva berutang kepada BII-Maybank total senilai Rp649,29 miliar (asumsi nilai tukar Rp12.000 per dolar AS) dan sudah beberapa bulan ini macet. Di posisi sekarang, angka ini dapat berubah sesuai perhitungan tambahan bunga dari tunggakan.
BNII kini dikendalikan oleh Maybank Offshore Corporate Services (Labuan) Sdn Bhd setelah membeli sahamnya pada Desember 2008 lalu. Sejak itu, bank ini tidak lagi menjadi milik Grup Sinar Mas dan pada tahun 2012 logonya berubah menjadi BII-Maybank.
Sedianya pada Rabu pagi, 7 Januari 2015, perkara ini disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tertera dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31 Desember 2014, yang diperoleh Bareksa.com, perkara ini adalah permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang terkait dengan kredit macet tersebut. Bertindak selaku pemohon adalah PT Bank International Indonesia Tbk, sedangkan sebagai termohon adalah PT Dhiva dan pemiliknya, Richard Setiawan.
Akan tetapi, karena Richard dan wakil PT Dhiva tidak hadir, sidang diputuskan ditunda Senin depan.
Ditemui di pengadilan, pengacara BII-Maybank BII, Duma Hutapea, mengkonfirmasikan perkara ini. "Benar, gugatannya terhadap PT Dhiva," katanya kepada Bareksa.com. Dia menambahkan pihak PT Dhiva belum hadir karena panggilan baru mereka terima Senin kemarin dan masih mempersiapkan diri.
Audit internal
Kasus ini menyeruak dari laporan audit internal BII-Maybank sendiri. Menurut dokumen audit yang didapat Bareksa.com -- dan otentisitasnya telah diverifikasi -- PT Dhiva masuk radar Komite Audit BII-Maybank sejak Agustus 2012; setelah pemiliknya berinvestasi di luar bisnis inti perusahaan. Kemudian, pada Desember 2013 PT Dhiva meminta agar pinjaman mereka direstrukturisasi.
Yang lebih mengernyitkan dahi para auditor adalah temuan di bulan Januari 2014.
"BII Internal Audit Team indicated that some of the invoices from the suppliers are fictitious. Further investigation is still being conducted (Tim Audit Internal BII mendapati indikasi bahwa sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif. Investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan)," demikian tertera di laporan audit itu.
Dokumen audit mencantumkan bahwa jumlah kredit yang disalurkan BII-Maybank kepada PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014 adalah sebesar Rp649,29 miliar.
Persoalan ini rupanya juga sudah ditangani Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kepada Bareksa.com, Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK Riyanti A.Y. Sali menyatakan instansinya sedang meneliti laporan keuangan BII-Maybank per September 2014.
Yang menjadi pusat perhatian OJK adalah terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga September 2014 BII hanya membukukan laba Rp340 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp1,09 triliun.
"Memang sudah dalam penelitian kami karena terjadi penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan cadangan penghapusan kredit macet," ujarnya ketika diwawancarai pada 6 Januari kemarin.
Riyanti menjelaskan instansinya sedang menelusuri apakah pengucuran kredit macet tersebut sudah melewati prosedur yang semestinya. Untuk itu, OJK akan memeriksa semua pejabat bank yang berwenang. "Kami melihat apakah mekanismenya benar, apakah pemberi persetujuan itu orang yang berwenang. Juga, apakah ini memang karena kondisi perusahaan debitur yang memburuk. Kalau semua sesuai prosedur, ya oke, tidak ada masalah," katanya.
Kinerja keuangan
Bagaimana sebetulnya anatomi keuangan BII-Maybank terkait kredit macet ini?
Dari hasil penyusuran analis Bareksa.com, tertera di catatan laporan keuangan BII-Maybank akhir tahun 2013, ada kenaikan kredit yang masuk dalam kategori kredit bermasalah (non-performing loan, NPL), senilai ekuivalen Rp675 miliar. Angka ini tercantum pada kategori utang dalam dolar di sektor perdagangan, restoran dan hotel.
Namun, pada laporan keuangan per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos tersebut tersisa tinggal Rp7 miliar. Sementara itu, nilai write off -- kredit yang dihapusbukukan dari neraca -- bertambah menjadi Rp1 triliun.
Kredit bermasalah BII mulai melonjak per akhir tahun 2013 menjadi Rp2 triliun, dibandingkan pada akhir tahun sebelumnya yang berada di level Rp1,27 triliun. Dan setahun kemudian, pada posisi akhir September 2014, angkanya membengkak lagi menjadi Rp2,43 triliun.
Dilihat dari besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut -- senilai Rp649,29 miliar -- memang cukup signifikan dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013. Kontribusinya mencapai 32 persen.
Atas kredit bermasalah di tahun 2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai Desember 2013 telah disisihkan provisi senilai Rp787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai September 2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp1,46 triliun.
Tabel: Rincian Kredit Bermasalah BII
Sumber: Laporan Keuangan BII-Maybank
Patut dicatat, bahwa kredit bermasalah ini tidak lantas membuat BII-Maybank limbung. Rasio NPL netto BII Maybank dalam sembilan bulan pertama di tahun 2014 memang naik menjadi 1,79 persen dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 1,02 persen. Namun, rasio tersebut masih masuk kategori 'manageable'. Peraturan Bank Indonesia No. 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional menyatakan bahwa suatu bank masuk dalam kategori pengawasan intensif jika rasio NPL-nya secara netto melebihi 5 persen.
Tambahan lagi, supaya obyektif melihat kasus ini, jika melihat data industri, sebagian bank besar lain juga mengalami kenaikan rasio NPL sepanjang Januari-September 2014. NPL netto Bank Mandiri, misalnya, naik menjadi 0,82 persen dari 0,53 persen pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Begitu pula dengan Bank Danamon yang melonjak menjadi 1,44 persen dari sebelumnya 1,29 persen.
Grafik: Rasio NPL Periode Januari-September 2013 dan 2014
Sumber: BII Maybank
Bareksa.com belum mendapatkan keterangan yang memadai dari manajemen PT Dhiva terkait perkara ini. Pada tanggal 23 Desember 2014, wartawan Bareksa.com mendatangi kantor PT Dhiva di kawasan SCBD, Jakarta. Namun, dua karyawan perusahaan ini -- satu dari tim audit dan lainnya sekretaris direksi -- menyatakan tidak dapat memberi keterangan. Mereka juga tidak bersedia menerima surat permohonan wawancara. Bareksa.com telah menelepon dan mengirim SMS kepada pemilik PT Dhiva, Richard Setiawan. Namun, dia hanya menjawab singkat. "Nggak tahu saya," katanya. Dan dia langsung menutup telepon.
(Laporan: S.A. Wahyu, Alfin Toffler, Hanum Kusuma Dewi | Editor: Karaniya Dharmasaputra)