Bareksa.com - Salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah memberantas mafia migas yang lama membelit negeri ini. Atas janji yang sama sekali tak gampang dipenuhi itu, Presiden mengawalinya dengan mengangkat tiga tokoh aktivis antikorupsi untuk menduduki sejumlah pos strategis. Ia mengangkat Sudirman Said sebagai Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral, Amien Sunaryadi sebagai Kepala SKK Migas dan Faisal Basri sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas.
Langkah apa saja yang akan diambil Faisal Basri (55) untuk mereformasi sektor yang sangat vital sekaligus "berlumur dolar" ini? Berikut wawancara analis Bareksa.com dengan ekonom senior yang terkenal "lugas dan lurus" ini di Jakarta, Selasa 25 November 2014. Petikannya:
Apa prioritas Tim Reformasi yang Anda pimpin?
Tim ditargetkan memberikan rekomendasi dalam waktu enam bulan. Tapi, kami tidak akan tunggu enam bulan. Dari awal kami sudah akan memberikan rekomendasi.
Dari informasi yang kami himpun saat ini, yang jadi perhatian utama adalah sektor hilir, terkait ekspor-impor minyak dan gas. Lebih spesifik lagi mengenai keberadaan Petral. Soal ini kami harapkan dalam bulan pertama sudah dapat memberikan rekomendasi bagi pemerintah.
Lalu segera menyusul hal-hal lain. Kemarin saya bicara langsung kepada Menteri ESDM untuk membuka data berapa sebetulnya harga produksi Bahan Bakar Minyak (BBM). Ini diperlukan bagi kredibilitas pemerintah agar tidak dicap tukang bohong. Di media ada ekonom yang menyebutkan harga keekonomian BBM hanya Rp6.800 per liter, ada yang bilang Rp8.000 per liter. Pemerintah harus terbuka mengenai data-data tersebut kepada publik.
Soal Petral, bagaimana asal-muasalnya?
Dulu awalnya adalah Petral Oil. Komposisi pemegang sahamnya: 40 persen PT Pertamina (Persero), 20 persen Bob Hasan, 20 persen Tommy Soeharto, dan 20 persen sisanya yayasan karyawan Pertamina.
Ketika itu, Petral lebih bergerak di bidang ekspor, karena produksi minyak mentah Indonesia masih sekitar 1,6 juta barel sedangkan konsumsi 300 ribuan barel.
Setelah Reformasi, keluarga Cendana keluar. Petral Oil menjelma menjadi Petral yang 99,9 persen sahamnya dikuasai oleh Pertamina. Para owner awal itu memang sudah tidak lagi ada di dalam Petral, tapi mereka bertransformasi sebagai trader yang basis bisnisnya adalah pengadaan minyak impor untuk Petral.
Sebetulnya, ada berapa pihak yang jadi trader untuk Petral?
Ini kami klarifikasi terus. Katanya selama ini ada sekitar 40 trader yang memasok Petral. Bisa jadi, puluhan perusahaan trading itu sebetulnya hanya dimiliki segelintir orang saja. Pemenang tender bergantian, seperti arisan.
Bagaimana lantas mengerucut ke satu nama: Muhammad Riza Chalid?
Sejarahnya dahulu berawal ketika Pak Ida Bagus Sudjana alm. (mantan Menteri Pertambangan dan Energi) mengumpulkan anak-anak muda dari ITB. Waktu itu marak sekali eksplorasi minyak. Mereka dikumpulkan agar putra-putri Indonesia sendiri yang mengelolanya. Niat awalnya baik, ada nasionalismenya.
Pada waktu itu staf kepercayaan Pak Sudjana adalah Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM 2000-2009 dan Menteri Pertahanan 2009-2014). Jadi, perkenalan Pak Purnomo dengan Riza Chalid itu bermula pada saat itu.
Lalu terjadi turning point. Indonesia yang tadinya mengekspor minyak kemudian mulai mengimpor minyak pada tahun 2000. Nah, pada saat itulah mulai Riza Chalid menjadi importir minyak bersama dengan teman-temannya, termasuk Rosano Barack -- di bawah koordinasi Pak Purnomo. (Analis Bareksa.com sudah menghubungi Purnomo melalui SMS dan telepon untuk meminta tanggapannya, tapi belum mendapat respons)
Muhammad Riza Chalid (kiri) dan Purnomo Yusgiantoro (kanan) (Bareksa/Istimewa)
Kenapa Pertamina sampai begitu bergantung pada kawanan trader ini?
Pertama, karena kilang pemrosesan minyak di Indonesia jumlahnya terbatas dan masih menggunakan teknologi lama.
Pertamina memiliki 7 kilang, tapi yang bisa beroperasi hanya 5. Dari yang beroperasi, hanya ada satu yang menggunakan teknologi baru, yakni Balongan, sehingga bisa menghasilkan minyak dengan RON tinggi -- jadi bisa memproduksi Premium dan Pertamax.
Empat kilang lainnya masih menggunakan teknologi lama yang hanya bisa menghasilkan minyak dengan RON rendah, jadi tidak bisa memproduksi Pertamax.
Masalah kedua, cadangan minyak di tangki penyimpanan Pertamina hanya bisa mencukupi 18 hari konsumsi, padahal 10 tahun yang lalu masih bisa 30 hari. Inventory days yang pendek ini membuka peluang bagi trader untuk bisa menekan Pertamina.
Apa benar ada pihak-pihak tertentu yang selama ini menghalangi pembangunan kilang baru?
Faktanya, dalam 20 tahun terakhir ini tidak ada satupun pembangunan kilang baru di Indonesia.
Ada kecurigaan Petral kerap membeli minyak pada saat harga minyak dunia sedang tinggi. Itu benar?
Itu perlu dilakukan audit atas seluruh harga pembelian selama lima tahun terakhir. Audit migas secara keseluruhan sedang dilakukan, tapi belum ada audit atas harga beli Petral.
Kenapa sih Pertamina tidak langsung membeli dari national oil company (NOC)?
Pertamina menyampaikan sekarang melakukan pembelian langsung dari national company. Tapi — ini masalahnya — dari penelaahan sementara teman-teman, ada indikasi ternyata yang berada di balik national company itu ya para trader itu juga. Semua ini masih akan kami buktikan kebenarannya.
Bagaimana Petral harus dibenahi?
Sebenarnya Petral itu secara sistem benar dan secara fasilitas mumpuni. Permasalahannya adalah ia dikontrol oleh pihak-pihak yang memiliki vested interest. Pemerintah perlu mereformasi agar tatanan ekspor-impor migas kita itu market creating. Ini terjadi jika konsumen bertemu dengan produsen di ruang terang; ada proses pembentukan harga yang jelas.
Jadi tidak perlu dibubarkan?
Petral adalah trading company, tangan Pertamina untuk pengadaan minyak sebagai bagian dari national supply security. Di Thailand juga ada perusahaan seperti Petral. Masalahnya, di Petral tidak ada transparansi.
Ibarat seperti akuarium, Petral adalah akuarium yang keruh. Tidak jelas berapa ikan yang berenang di dalamnya. Apa ada ikan besar yang memangsa ikan kecil. Yang akan kami rekomendasikan adalah membuat Petral ini tidak lagi menjadi keruh.
Mekanisme pembentukan harga dan performance sektor migas kita harus dibuat transparan dan diperbaiki. Posisi Petral harus dikembalikan sebagai trading company, sebagai pelaksana, bukan penentu kebijakan.
Kebijakan pengadaan minyak dan sebagainya harus dilakukan oleh unit Integrated Supply Chain (ISC) yang dulu pernah dibentuk di zaman Sudirman Said di Pertamina dan langsung berada di bawah kendali Dirut Pertamina. ISC ini yang menentukan pembiayaan dan sebagainya. Petral hanya menjadi pelaksana.
ISC dibekukan setelah Karen Agustiawan menjadi Direktur Utama Pertamina. Setelah itu kewenangan penuh ada pada Petral.
Akan tetapi, jika Petral susah diperbaiki, akan ditempuh cara kedua: membuat perusahaan baru.
Seorang menteri pernah bilang kendala utama reformasi migas tak lain bersumber di Istana. Anda yakin Presiden Jokowi akan memberi dukungan penuh?
Menurut perasaan pribadi saya, iya. Karena kalau tidak, Beliau tidak akan memilih orang seperti Amien Sunaryadi (mantan Wakil Ketua KPK) sebagai Kepala SKK Migas. Sudirman Said juga pilihan yang benar. Itu tercermin dari langkah pertama yang dilakukannya sebagai menteri, yakni memecat Dirjen Migas. Waktu Sudirman masih di Pertamina, ada seorang menteri sampai terus-menerus telepon ke Dirut Pertamina, menanyakan kapan Sudirman dipecat dari Pertamina. Juga, Pak Jokowi kok memilih saya sebagai Ketua Tim Reformasi? Padahal saya kan liar, tidak bisa dikontrol… hahaha… (kd)