Impor BBM Langsung dari Angola, Anggaran Hemat $1,64 M per Tahun

Bareksa • 04 Nov 2014

an image
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Angola Manuel Domingos Vicente (kanan) seusai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat 31 Oktober 2014 (Antara Foto/Andika Wahyu)

Kurangnya armada kapal pengangkut minyak milik Pertamina menjadi tantangan dalam kerjasama pembelian minyak ini.

Bareksa.com - Pemerintah Indonesia diperkirakan dapat menghemat sebesar $1,64 miliar (Rp19,8 triliun) per tahun jika rencana pembelian minyak mentah langsung dari Angola dapat berjalan.

Mulai awal tahun depan, rencananya Sonangol EP, BUMN perminyakan Angola, akan menyuplai minyak sebanyak 300.000 barel per hari ke Indonesia.

Selama ini, pemerintah melalui Pertamina membeli minyak dari perusahaan trader komoditas yang mengambil keuntungan berlebih -- diperkirakan $15 lebih mahal per barelnya dibandingkan membeli langsung ke produsen. Demikian diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.  

Karena itu, ke depan pemerintah akan melakukan transaksi G-to-G untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan impor minyak supaya dapat menghindari harga yang kelewat mahal di pasar.

Jumat lalu, 31 Oktober, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Angola Manuel Domingos Vicente menandatangani nota kesepahaman rencana transaksi G-to-G ini, yang kemudian langsung dibahas oleh tim teknis kedua belah pihak hari Senin kemarin. Hasilnya, diusulkan angka volume pasokan sebesar 300,000 barel per hari.

Dengan asumsi itu, penghematan yang akan didapat pihak Indonesia diperkirakan bisa mencapai $4,5 juta dolar per hari. Kalikan ini dengan 365 hari, maka angka yang didapat adalah $1,64 miliar dalam setahun.

Jumlah ini bisa bertambah, karena pemerintah juga berencana menjalin kerjasama sejenis dengan Rusia dan negara-negara penghasil minyak lainnya, seperti Arab Saudi dan Kuwait.

Selain transaksi jual-beli minyak, Indonesia dan Angola yang diwakili oleh BUMN perminyakan masing-masing juga akan membangun kilang minyak berkapasitas 300.000 barel per hari yang akan mengolah minyak dari Angola.

Pengamat Perminyakan dan Energi Dr. Kurtubi memandang positif kerjasama tersebut dan berharap kebijakan serupa dapat dilakukan dengan negara lain.

“Kerjasama secara G-to-G yang dilakukan dengan negara penghasil minyak sangat bagus. Hal ini dapat menghemat anggaran pemerintah triliunan rupiah per tahun dibandingkan pembelian melalui perantara (trader),” ujar Kurtubi kepada Bareksa.com.

Dengan konsumsi harian sebanyak 1,6 juta barel, defisit miyak melilit Indonesia mencapai 800 ribu barel per hari. “Konsumsi kita ekuivalen dengan 1,6 juta barel per hari, sementara produksi kita hanya 800.000 barel per hari. Untuk mengatasi sisanya, kita impor,” Kurtubi menambahkan.

Akibat beban impor, sejak bulan Agustus 2012 neraca perdagangan migas Indonesia selalu mencatatkan defisit. Bahkan, angka defisit di bulan September 2014 kemarin kembali melonjak menjadi $1,03 miliar dari "cuma" $800 juta di bulan Agustus.

Grafik: Defisit Neraca Perdagangan Migas Periode 2012 - September 2014

Sumber: Bareksa.com

Sementara itu, Direktur Organisasi Publik untuk Transparansi Informasi dan Manajemen Aset Strategis Indonesia (Optimasi) Fahmi Alfansi P. Pane menilai yang menjadi tantangan dalam kerjasama pembelian minyak dari Angola dan negara penghasil minyak lainnya adalah kurangnya armada kapal pengangkut minyak milik Pertamina. Dari 192 unit tongkang yang dioperasikan Pertamina, 70 persennya merupakan kapal sewaan, demikian ditulis Fahmi di harian Bisnis Indonesia. Karena itu, menurut dia pemerintah perlu mempertimbangkan membeli kapal very large gas carrier (VLGC) atau bahkan ultra large crude carrier (ULCC) yang memiliki kapasitas angkut hingga 2,35 juta barel agar biaya pengangkutan minyak mentah dapat ditekan dan jadi lebih efisien. (qs)