Biaya Tenaga Kerja China Tinggi; Kesempatan Indonesia Genjot Ekspor

Bareksa • 09 Oct 2014

an image
Ilustrasi: Aktivitas bongkar muat di Tanjung Priuk, Jakarta (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)

China miliki kapasitas ekspor sekitar USD1.500 miliar per tahun dalam industri padat karya

Bareksa.com - Indonesia saat ini memiliki kesempatan untuk menggenjot ekspor dengan mengambil kesempatan dari naiknya biaya tenaga kerja di China, menurut beberapa ekonom senior.

China yang sudah bertahun-tahun men-supply sepatu, pakaian dan banyak barang-barang konsumen lainnya sudah mulai meninggalkan industri ini untuk bergerak menuju industri lebih maju seperti elektronik, teknologi, menurut Gustav Papanek, ekonom dari Boston University yang telah bertahun-tahun mempelajari ekonomi Indonesia.

China sekarang ini memiliki kapasitas ekspor sekitar USD1.500 miliar per tahun dalam industri padat karya.

Bila Indonesia bisa mengambil 7 persen saja dari ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat segera naik menjadi 10 persen per tahun dan menciptakan 4 juta lapangan kerja produktif yang layak per tahun, menurut ekonom senior Raden Pardede dalam acara peluncuran buku "Pilihan Ekonomi Yang Dihadapi Presiden Baru".

Peluncuran buku yang ditulis oleh tiga ekonom Gustav Papanek, Raden Pardede, dan Suahasil Nazara ini dilakukan di Jakarta, dan disponsori oleh Transformasi, badan kajian kebijakan publik.

Profesor Gustav menambahkan bahwa tidak perlu ada kekawatiran dengan pelemahan rupiah, karena rupiah yang lebih lemah membuat produsen Indonesia lebih kompetitif.

Rupiah diperdagangkan pada Rp12.182 per dolar Amerika siang hari ini, melemah 5,24 persen dibanding 3 bulan lalu.

"Dengan kurs rupiah yang lebih lemah, akan lebih banyak lagi perusahaan di Indonesia yang dapat berkompetisi melawan impor dalam hal penyediaan pasokan di dalam negeri," ujar Gustav.

"Memang dengan rupiah yang lemah, harga-harga akan naik. Pemerintah perlu menstabilkan harga makanan yang dikonsumsi masyarakat kelas bawah," tambah Gustav.

Sekitar 40 persen masyarakat kelas ekonomi terbawah di Indonesia membelanjakan lebih dari setengah pendapatannya untuk membeli makanan. (NP)