Bareksa.com – Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla memberi sinyal akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dia juga menekankan bahwa secara historis dampaknya hanya akan meningkatkan angka inflasi yang didorong sektor transportasi dan tidak akan berpengaruh besar untuk ekonomi secara keseluruhan. Demikian disampaikan JK saat menyampaikan pidato di acara bertema "Menata Kembali Tata Kelola Kebijakan Migas" di Jakarta, 9 September 2014.
Tirta Segara, Direktur Eksekutif Bank Indonesia (BI), kepada Bareksa.com menyatakan bahwa setiap kenaikan harga BBM bersubsidi selalu diiringi dua hal: efek primer dan sekunder.
Efek primer merupakan kenaikan harga karena efek langsung dari kenaikan harga BBM. Sebagai contohnya biaya transportasi yang langsung menyesuaikan setelah harga BBM naik. Sedangkan efek sekunder, merupakan efek yang terjadi setelah efek primer. Contohnya adalah kenaikan harga bahan makanan.
Data inflasi yang diolah Bareksa.com juga menunjukkan setiap kali harga BBM bersubsidi dinaikkan pemerintah, sektor yang menyumbang kenaikan inflasi terbesar adalah transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (TKJK).
Contohnya pada bulan Maret 2005, ketika untuk pertama kalinya harga BBM bersubsidi dinaikkan. Inflasi bulanan sektor TKJK melonjak menjadi 10,03 dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 0,1 persen. Padahal saat itu harga bensin Premium hanya naik 32,6 persen.
Lalu, pada Oktober 2005 ketika diputuskan ada kenaikan harga BBM bersubsidi tertinggi -- untuk harga bensin Premium sebesar 87,5 persen -- mendorong laju inflasi bulanan sektor TKJK menjadi 28,5 persen, dibandingkan bulan sebelumnya yang 0,41 persen.
Yang menarik, kenaikan harga BBM bersubsidi pada Mei 2008 dan Juni 2013 tidak mendorong inflasi sektor TKJK sebesar yang terjadi di tahun 2005.
Pada Mei 2008, inflasi bulanan sektor TKJK naik menjadi 2,23 persen dibandingkan -1,18 persen pada bulan sebelumnya. Inflasi pada Juni 2013 juga naik, tetapi menjadi hanya 3,8 persen dari 0,05 persen sebelumnya. Padahal, di bulan Mei 2008 dan Juni 2013 harga bensin bersubsidi, misalnya, naik masing-masing sebesar 33,3 persen dan 44,4 persen. Setelah itu, nilai inflasi juga cenderung turun ke level yang lebih rendah dari sebelum terjadi kenaikan.
Tirta menjelaskan menurunnya angka inflasi itu bukan berarti harga-harga ikut turun, melainkan harga tidak mengalami kenaikan kembali. "Misalnya, harga air kemasan sebelum inflasi Rp500. Setelah kenaikan BBM, harganya naik menjadi Rp600. Nah, setelah itu harganya tetap Rp600 atau naik sedikit. Hal ini yang menyebabkan inflasi terlihat turun," Tirta menjelaskan kepada Bareksa.com.
Lebih lanjut, Tirta menjelaskan bahwa efek primer dari inflasi tidak berlangsung lama, hanya berkisar 2-3 bulan. Efek sekunder yang lebih lama pengaruhnya, meskipun nilainya cenderung terus menurun.
Grafik Inflasi Berdasarkan Kelompok Pengeluaran Periode 2004-2014
Sumber: BPS, diolah Bareksa.com
Kepada Bareksa.com, Rangga Cipta, ekonom PT Samuel Sekuritas, juga menjelaskan hal senada. Menurut dia kenaikan harga BBM bersubsidi termasuk one-time shock, sehingga efeknya tidak permanen.
"Banyak sekali faktor yang mempengaruhi inflasi, tidak hanya BBM dan tiap periode faktornya bisa berbeda-beda," katanya. "Bank Indonesia biasanya merespons inflasi dengan menaikkan suku bunga atau dengan kata lain mengurangi jumlah uang beredar yang ada. Maka dari itu kombinasi antara kenaikan harga BBM serta kenaikan suku bunga biasanya memicu perlambatan ekonomi. Perlambatan ekonomi itu dalam jangka menengah akan mengurangi tekanan inflasi." Contohnya bisa dilihat jelas pada perekonomian Eropa sekarang. Karena ekonominya melambat, tingkat inflasinya pun sekarang sangat rendah. (kd)