Bareksa.com - PT Sinarmas Asset Management, yang bernaung di bawah Grup Sinarmas -- kelompok bisnis dengan usaha yang terbentang mulai dari properti sampai perkebunan -- masuk dalam jajaran 10 besar perusahaan manajer investasi dengan dana kelolaan terbesar di Indonesia. Yang juga perlu dicatat, porsi investor ritel dalam dana kelolaan Sinarmas mencapai 60 persen.
Untuk menyingkap kiat bisnis di balik kesuksesan ini, Bareksa.com mewancarai secara khusus Direktur Sinarmas AM, Jamial Salim, di kantornya di Jakarta pada Rabu, 3 September 2014. Berikut petikannya.
Sinarmas AM sangat berhasil dalam pengelolaan reksadana jenis pendapatan tetap. Apakah ini memang fokus perusahaan Anda?
Reksadana jenis pendapatan tetap memang menjadi salah satu andalan kami, dengan porsi dana kelolaan terbesar. Dari total dana kelolaan sebesar Rp5,1 triliun, sekitar Rp3 triliun berasal dari produk reksadana pendapatan tetap dan sisanya merupakan reksadana campuran dan saham. Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir, Sinarmas AM juga mulai mengembangkan reksadana saham untuk mengantisipasi kenaikan pajak bunga obligasi di reksadana yang menjadi sebesar 15 persen pada tahun 2020 nanti, dibandingkan 5 persen saat ini. Hal tersebut tentu akan mengurangi insentif investor untuk berinvestasi pada reksadana pendapatan tetap dibandingkan berinvestasi langsung ke obligasi.
Faktor apa yang menyebabkan investor lebih tertarik kepada reksadana pendapatan tetap selain insentif pajak?
Insentif pajak lebih dirasakan investor institusi. Sementara investor ritel memilih reksadana pendapatan tetap karena fluktuasinya lebih rendah dibandingkan reksadana saham. Selain itu juga memberikan opsi untuk melakukan investasi jangka pendek di instrumen surat utang seperti obligasi. Investor ritel sulit membeli obligasi secara langsung, kecuali ORI (Obligasi Ritel Indonesia), karena harga per unitnya yang terlalu tinggi. Investor juga lebih mudah melakukan jual-beli reksadana pendapatan tetap ketimbang ORI. Selain reksadana pendapatan tetap, tahun depan Sinarmas Asset Management juga ingin merilis produk reksadana penyertaan terbatas (RDPT).
Bukankah RDPT akan dilarang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?
Sampai saat ini kami belum mendapat informasi tersebut dari OJK. Tetapi, menurut pandangan saya, sangat disayangkan jika izin pembentukan RDPT ditutup karena RDPT merupakan alternatif pembiayaan sektor riil. Berbeda dengan reksadana biasa, dengan RDPT dimungkinkan untuk membeli aset saham maupun surat utang perusahaan tertutup (tidak listing di bursa) maupun proyek. Proyek-proyek sektor riil selama ini hanya memperoleh pendanaan dari perbankan maupun dari penerbitan obligasi yang selama ini biayanya mahal. Selain itu, rasio kredit terhadap dana masyarakat yang terkumpul (loan-to-deposit ratio, LDR) bank sudah tinggi sehingga pendanaan dari perbankan juga mulai berkurang.
Bagaimana prospek pasar modal tahun depan di tengah tantangan internal defisit anggaran dan neraca berjalan serta tantangan eksternal di mana The Fed akan menaikkan tingkat bunga?
Kami optimistis Jokowi-JK dapat membentuk kabinet yang kredibel sesuai dengan ekspektasi pasar. Kami melihat investor asing juga optimistis, tercermin dari tingginya jumlah dana yang masuk sepanjang 2014 ini. Ekonomi China yang terus mengalami perlambatan membuat investor melihat Indonesia sebagai alternatif untuk mengalihkan investasi mereka.
Di pasar obligasi sendiri, hingga akhir tahun, saya melihat yield obligasi akan relatif lebih stabil. Penyesuaian akan terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Inflasi dan BI rate akan naik, dan akan terjadi adjustment pada yield obligasi. Yield obligasi tenor 10 tahun kemungkinan akan naik menjadi sekitar 8,5 persen dibandingkan beberapa bulan terakhir yang berada pada level 8 persen.
Politik memang menjadi risiko terbesar yang harus dihadapi investor. Tetapi kami melihat arus keluar masuk dana investor asing di pasar obligasi tidak sefluktuatif di pasar saham. Terbukti tahun lalu, ketika pasar modal terkoreksi, dana investor asing yang keluar dari pasar saham lebih tinggi ketimbang dari pasar obligasi karena horison investasi yang lebih panjang. (QS)