PDI-P di Antara 2 Kekuatan Besar; Demokrat dan Golkar Siap M

Bareksa • 18 Jul 2014

an image
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut dua, Joko Widodo (kiri) dan Jusuf Kalla (kanan) memberikan keterangan pers di Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/7) - (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Golkar tidak biasa menderita. Golkar tidak akan mau berada di luar pemerintahan: politisi senior Golkar

Bareksa.com - Kisah dalam 'Romance of The Three Kingdoms' bisa jadi merupakan rujukan yang sedang digunakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekarang ini.

Bila tidak ingin kalah dalam pertempuran, kita harus segera cari kawan, jangan menjadi pihak yang sendirian melawan 2 pihak kuat lainnya. Inilah pelajaran yang dapat diambil dari puluhan pertempuran pada masa setelah Dinasti Han antara tahun 220 dan tahun 280 di China.

Pada masa itu, yang dikenal dengan 'Kekuatan 3 Kerajaan' keadaannya sangat mirip dengan situasi politik di Indonesia sekarang ini.

Ada 3 kekuatan besar dalam politik Indonesia: pertama adalah Partai Demokrat sebagai partai penguasa sampai Oktober nanti; kedua Golkar sebagai partai tertua yang memiliki paling banyak politisi lihai; dan ketiga tentunya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pemenang pemilihan legislatif April lalu.

Sebagai partai dari calon presiden terpopuler Joko Widodo yang diperkirakan menang, PDI-P harus memilih -- berjalan bersama Golkar, atau Partai Demokrat. Komisi Pemilihan Umum akan mengumumkan hasil resmi pemilihan presiden awal Juli lalu pada tanggal 22 Juli.

Dalam beberapa kali pertempuran yang dikisahkan dalam novel epik Tionghoa yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai 'Romance of The Three Kingdoms', pihak yang gabung berdua hampir selalu menang, dan yang sendirian kalah, bagaimanapun kuatnya yang sendirian.

Sekarang ini PDI-P ada pada posisi yang sendirian, tapi sudah ada tanda-tanda untuk membuka diri kepada salah satu dari dua kekuatan lainnya ini. Tanda-tanda perubahan ini menyusul kekalahan pahit yang dialami PDI-P di parlemen minggu lalu.

Pada tanggal 8 Juli, PDI-P kalah voting dalam usaha menolak pengesahan perubahan Undang Undang mengenai MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), di mana antara lain mengatur bahwa pemenang pemilu legislatif tidak lagi otomatis dapat hak untuk mendapat posisi kursi Ketua DPR. Sekitar 62 persen anggota DPR mendukung perubahan aturan ini, yang berarti akan membuat PDI-P terancam tidak mendapat kursi Ketua DPR untuk periode 2014-2019.

Rabu malam minggu ini, sempat dijadwalkan adanya pertemuan antara petinggi PDI-P dan Partai Demokrat. Agendanya satu: membahas kemungkinan Partai Demokrat untuk 'cross-over' ke kubu Joko Widodo, dari kubu Prabowo Subianto.

Jendral purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan, pengarah tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, mengatakan: "Mudah-mudahan saja... Segera terjadi." Luhut mengatakan ini dalam jawaban SMS kepada Bareksa.com ketika ditanya soal Partai Demokrat yang kemungkinan akan menyeberang ke Jokowi ini.

Pengecekan Bareksa.com sehari sesudahnya menunjukkan bahwa pertemuan ini ternyata dibatalkan. Belum jelas benar alasannya apa, tetapi pembatalan kabarnya dilakukan oleh pihak Partai Demokrat.

Wakil Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan mengaku tidak mengetahui adanya rencana pertemuan ini, tapi secara individu Partai Demokrat, Ramadhan menambahkan, mungkin saja ada yang didekati oleh PDI-P untuk diajak bicara.

"Secara institusi tidak ada rencana itu. Tradisi Partai Demokrat tidak mengenal posisi yang loncat-loncat," ungkap Ramadhan. 

Pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan bahwa Jokowi-Jusuf Kalla harus dapat membuka diri kepada lebih dari satu partai politik untuk bergabung, daripada berfokus kepada salah satu saja, supaya dapat memecah posisi-tawar parpol-parpol calon teman koalisi ini. Langkah yang tepat, menurut Djayadi, adalah memang memilih Partai Demokrat, karena Partai Demokrat dinilai tidak akan meminta konsesi politik sebesar Golkar.
 
Mengeni keengganan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri berbaikan dengan Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat menurut Djayadi bukan hal yang dapat menjadi hambatan. "Karena di sini yang memutuskan adalah Jokowi sendiri, bukan Megawati atau partainya," ungkap Djayadi, dosen ilmu politik di Universitas Paramadina, kepada Bareksa.com.

Sulit juga dilihat apakah PDI-P sebenarnya lebih cenderung condong ke Partai Demokrat atau Golkar, menurut pengamat politik Tobias Basuki.

"Namun jika melihat trek sejarahnya, Golkar memiliki kesempatan yang lebih jelas. Salah satunya dengan pertimbangan Jusuf Kalla yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Dan melihat karakter dari partai Golkar sendiri yang tidak pernah mau menjadi oposisi," ucap Tobias kepada Bareksa.com.
 
"Golkar tidak biasa menderita. Golkar tidak akan mau berada di luar pemerintahan," ungkap politisi senior Golkar yang tidak mau disebut namanya. (kd)