Bareksa.com - Persoalan impor dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berpengaruh terhadap inflasi membuat Bank Indonesia kesulitan untuk menekan suku bunga acuan (BI Rate).
"Kalau kita mengurangi subsidi BBM atau menaikkan harga BBM, maka dampak langsung terhadap inflasi. Itu lah yang menyebabkan inflasi kita naik, lalu rendah dan selanjutnya naik lagi, dan seterusnya begitu, sehingga tidak akan ada inflasi yang secara permanen di tingkat yang rendah," ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Jakarta, Senin.
Mirza menuturkan, fluktuasi tingkat inflasi di Indonesia sulit disikapi oleh BI untuk menurunkan BI Rate ke angka yang lebih rendah.
Selain menekan inflasi, lanjut Mirza, kebijakan menaikkan BI Rate tidak terlepas dari upaya BI untuk menekan defisit transaksi berjalan yang pada Kuartal II-2014 mencapai 4,4 persen dari PDB. Saat ini, defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2 persen.
Ia mengatakan, kebijakan menaikkan BI Rate sejak Juni 2013 terbukti cukup berhasil menekan inflasi yang semula mencapai 8,38 persen (yoy) pasca kenaikan harga BBM pada paruh pertama tahun lalu.
"Defisit transaksi berjalan yang semula 4,4 persen dari PDB juga turun menjadi 3,8 persen di kuartal ketiga dan terus menurun hingga akhir tahun," kata Mirza.
Mirza menambahkan, kenaikan BI Rate yang hingga Mei 2014 berada di level 7,5 persen bukan semata-mata untuk menekan pertumbuhan ekonomi ke angka yang lebih rendah, namun BI berkeinginan untuk secara optimal mendukung pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang baik.
"Duhulu, Filipina itu juga rasio makro ekonominya jelek, sekarang rasionya membaik. Membaiknya rasio tersebut akhirnya berdampak positif pada current account-nya, inflasinya dan suku bunganya. Indonesia seharusnya bisa memperbaiki seperti itu juga," ujar Mirza.
Saat ini, salah satu negara tetangga, Filipina, memiliki neraca transaksi berjalan yang surplus sebesar 1,5 persen terhadap PDB dan cadangan devisanya terhadap utang luar negeri jangka pendek berada di angka 4,7 persen. Mirza mengatakan, cadangan devisa Indonesia terhadap utang luar negeri jangka pendek hanya sebesar 2,2 persen.
"Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kita mempunyai problem struktural di energi dan mempunyai problem di sektor ekspor," kata Mirza.
Mirza juga menuturkan, pemerintah juga harus mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dan beralih ke produk manufaktur. (Sumber : ANTARA News)