Benarkah berinvestasi emas lebih menguntungkan ketimbang sah

Bareksa • 26 Mar 2014

an image
Alvin Kusuma, investment analyst of PT Syailendra Capital

Harga emas biasanya akan naik ketika investor memiliki ekspektasi inflasi yang tinggi atau adanya kontraksi ekonomi.

Bareksa.com - Kala masih muda, orang tua kita kerap mengajarkan bahwa untuk menjadi sukses kita harus bekerja sangat keras, menghemat uang, membeli rumah, dan berinvestasi emas untuk tabungan hari tua. Kita tahu, membeli tanah adalah bentuk investasi yang menguntungkan. Tapi apakah berinvestasi emas juga demikian? Apakah itu lebih menguntungkan ketimbang berinvestasi saham?

Hubungan harga emas dan saham cukup sulit dijelaskan. Namun, sederhananya harga emas biasanya akan naik ketika investor memiliki ekspektasi inflasi yang tinggi atau adanya kontraksi ekonomi. Hubungan ini selalu berubah tergantung sedang ada dalam tahapan apa kita di suatu siklus ekonomi.

Namun, dengan dua kondisi di atas -- jika pasar mengira angka inflasi akan meninggi atau ekonomi bakal kontraksi -- harga emas akan meningkat lebih cepat dibandingkan saham. Sebaliknya, jika pasar mengira ekonomi akan baik-baik saja, harga saham akan meningkat lebih cepat ketimbang emas.


Grafik 1: Perbandingan Harga Emas, Indeks S&P, dan Tingkat Inflasi (Sumber: Syailendra Capital)

Untuk membandingkan kinerja jangka panjang antara saham dan emas, kita dapat menggunakan kinerja pasar ekuitas AS (S&P 500) dengan harga emas dari tahun 1979 hingga 2012 karena pada periode ini kedua-duanya sudah pernah mengalami kondisi bull dan bear market.

Berdasarkan grafik di atas, yang membandingkan kinerja indeks S&P 500 dan harga emas, kita dapat melihat bahwa pada periode 1979 hingga 2000, indeks S&P 500 melaju dari 114,16 hingga 1366,01, atau melonjak hampir 12 kali lipat. Sementara itu, harga emas turun dari $459 ke $272,65.

Pada periode ini, emas diabaikan oleh banyak investor yang yakin bahwa harga emas akan merosot. Mereka melihat ekonomi Amerika akan baik-baik saja dan meyakini bahwa harga saham perusahaan-perusahaan Internet akan terus meningkat -- sebuah fenomena yang belakangan disebut “dot com bubble”.

Namun, kenyataan ternyata berbeda dengan harapan. Para investor malah menyaksikan S&P 500 anjlok hampir 50% dari tahun 2000 hingga 2002 dan lalu kembali 50% lagi pada tahun 2008 karena dihantam “subprime mortgage crisis”. Hal ini lalu mendorong harga emas naik hingga $1.664 per ounce pada akhir tahun 2012, sedangkan S&P 500 hanya mencapai level 1426.19. Untuk periode 12 tahun ini (2000-2012), harga emas meningkat lebih dari enam kali lipat sedangkan S&P 500 hanya mendapatkan return kurang dari 10%.

Di satu sisi, wajar jika para investor saham Amerika merasa frustrasi dengan return sekecil ini. Akan tetapi, di sisi lain, jangan dilupakan sebuah prinsip bahwa investor yang baik hanya akan mengevaluasi kinerja suatu aset dalam jangka panjang. Jika kita lihat kinerja jangka panjangnya, S&P 500 ternyata masih memiliki return tahunan sekitar 8% sementara emas hanya 4%. Ini berarti investasi senilai $10.000 pada tahun 1979 di saham akan naik menjadi $124.429 pada akhir 2012 sementara emas hanya akan menghasilkan $36.252.

Ini menunjukkan, meski performanya kurang menjanjikan dalam periode 12 tahun terakhir, pasar saham tetap mengungguli emas dalam jangka panjang.


Grafik 2: Perbandingan Harga Emas dengan IHSG (JCI) (Sumber: Syailendra Capital)

Bagaimana dengan pasar Indonesia?

Jika kita melihat Grafik 2, kita bisa melihat semenjak tahun 2000 -- meskipun pada waktu itu ekonomi Indonesia masih sangat lemah karena masalah politik dan “Asian Financial Crisis” -- JCI (Jakarta Composite Index) meningkat dari level 388.44 sampai 4.399 pada tahun 2012 dan memberikan return 22% per tahun. Sementara itu, emas hanya memberikan return 15% per tahun pada periode yang sama. Perusahaan publik di Indonesia waktu itu masih dalam posisi sangat rentan. Akan tetapi, para investor yang tetap yakin dengan prospek perusahaan-perusahaan di Indonesia diganjar dengan keuntungan yang luar biasa.

Pendukung investasi emas mungkin akan berpendapat bahwa bull market emas belum selesai dan bahwa program QE (Quantitative Easing) dari The Fed, BOJ (Bank of Japan), Bank of England dan Bank Central Eropa akan membuat inflasi meningkat dengan tajam. Di dalam negeri, Indonesia juga masih bergulat dengan tingkat inflasi yang susah turun, transaksi berjalan yang defisit kembali pada Januari 2014, dan impor BBM yang tak kunjung turun. Dan ini diyakini kalangan ini akan membuat harga emas sekali lagi melonjak.

Untuk jangka pendek, mungkin pandangan para pendukung emas akan terbukti benar. Namun, dalam jangka panjang, Mark Twain telah mengatakannya dengan sangat baik: "Sejarah tak akan berulang, namun ia bergerak menurut pola irama tertentu". (kd)

*Alvin Kusuma adalah investment analyst PT Syailendra Capital