Bareksa.com - PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) melaporkan kinerja tahun 2013 dengan membukukan laba bersih sebesar Rp768,63 miliar atau turun 29,8 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan kinerja ini antara lain karena merosotnya produksi minyak sawit (-11,5 persen) dan inti sawit (-12,4 persen) pada 2013 dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebabnya dijelaskan antara lain kondisi cuaca yang tidak mendukung. Faktor cuaca itu juga yang dijelaskan mempengaruhi produksi karet perseroan yang melorot 2,9 persen menjadi 12.736 ton dibandingkan tahun sebelumnya -- selain faktor peremajaan perkebunan karet seluas 1.118 ha sepanjang tahun 2013.
Turunnya produksi CPO perseroan itu sebenarnya diiringi peningkatan volume penjualan CPO pada tahun 2013 sebesar 7,6 persen menjadi 440,999 ton, yang diambil dari persediaan sepanjang 2013. Namun, kenaikan itu tidak dapat menopang pertumbuhan laba akibat turunnya harga komoditas serta volume penjualan produk lainnya.
Pengaruh harga jual rata-rata yang lebih rendah serta kenaikan upah mengakibatkan turunnya laba bruto perseroan sebesar 25,4 persen pada tahun 2013 menjadi Rp1,25 triliun, dari Rp1,68 triliun pada tahun 2012. Secara keseluruhan, LSIP membukukan EBITDA sebesar Rp1,26 triliun, turun 19 persen dibandingkan tahun lalu di mana marjin EBITDA mencapai 30,4 persen.
Di tengah menurunnya kinerja perseroan, LSIP masih mempertahankan posisi keuangan yang sehat dan posisi kas bersih yang positif per 31 Desember 2013. Sekadar informasi, LSIP juga telah melakukan pembelian saham kembali (buy back) 2,9 juta lembar saham dengan harga rata-rata Rp1127,6 per lembar saham pada akhir tahun lalu.
Tabel: Perbandingan laporan keuangan LSIP per- kuartal untuk tahun 2013
Sumber: Bareksa.com
Menurut analis PT Syailendra Capital, Lanang Trihadian, masih terdapat titik cerah bagi LSIP dan industri CPO pada umumnya di masa yang akan datang. Karena saat ini industri CPO sedang mengalami peningkatan demand dalam 3 – 4 bulan terakhir. Peningkatan demand ini tidak lain disebabkan karena adanya mandatori pemerintah mengenai penggunaan CPO sebagai bahan campuran biodiesel dengan komposisi CPO sebesar 10 persen dari biodiesel tersebut. Sebelum mandat ini dikeluarkan, penggunaan CPO domestik 70 persen dimanfaatkan untuk diolah menjadi minyak goreng, sisanya dimanfaatkan untuk bahan bakar kendaraan, pabrik, dan alat berat. Dengan adanya mandatori ini, kebutuhan CPO untuk bahan bakar seperti biodiesel ini akan bertambah.
Analis PT Syailendra Capital, Lanang Trihadian, melihat masih terdapat titik cerah bagi LSIP dan industri CPO pada umumnya di masa yang akan datang. Industri CPO sedang mengalami peningkatan permintaan dalam 3-4 bulan terakhir. Peningkatan ini tidak lain disebabkan kebijakan mandatori pemerintah mengenai penggunaan CPO sebagai bahan campuran biodiesel, dengan komposisi CPO sebesar 10 persen.
Sebelum mandat ini ditetapkan, 70 persen penggunaan CPO domestik dimanfaatkan untuk diolah menjadi minyak goreng, sisanya untuk bahan bakar kendaraan, pabrik, dan alat berat. Dengan kebijakan ini, kebutuhan CPO untuk bahan bakar seperti biodiesel akan bertambah. Ini terlihat sejak September 2013 lalu, di mana PT Pertamina telah meningkatkan permintaan kebutuhan CPO mereka menjadi 6 juta ton per tahun. Dengan penambahan ini, target produksi CPO domestik meningkat menjadi 29,5 juta ton, dari sekitar 26,2 juta ton pada tahun lalu.
Kendala yang sedang dihadapi industri CPO saat ini adalah soal mekanisme penentuan harga yang akan diambil alih pemerintah. Saat ini pemerintah menginginkan harga pembelian CPO dari produsen ditetapkan sesuai harga MOPS. Akan tetapi, pihak produsen berkeberatan mengikuti harga patokan pemerintah tersebut. Ini karena harga MOPS berada di bawah harga pasar, yang akan menekan marjin laba mereka.
Para emiten CPO seperti LSIP mengaharapkan pemerintah dapat menetapkan harga sesuai harga pasar di Malaysia atau Rotterdam sehingga mereka dapat menjaga marjin laba. Kinerja LSIP sendiri selama ini ditopang oleh penjualan domestik yang mencapai 95-96 persen dari seluruh penjualan. Sehingga, seandainya penetapan harga dari pemerintah telah menyesuaikan dengan harga pasar, dapat mendongkrak laba LSIP.
Rekomendasi Lanang untuk sektor ini -- terlepas soal faktor overhang biodiesel (penetapan harga CPO) -- ke depan industri CPO masih dapat terus meningkat dan melanjutkan reli. Namun, bila overhang biodiesel masih berkelanjutan, industri CPO akan stagnan di level seperti sekarang. Untuk harga saham LSIP, Lanang memperkirakan TP (target price) sebesar Rp2.000 per lembar saham.
Tabel: Rekapitulasi perdagangan saham LSIP tanggal 5 Maret 2014 sesi satu.
Sumber: Bareksa.com
Sementara itu, menurut laporan yang kami pelajari, ASP (Average Selling Price) CPO pada kuartal-4 2013 menunjukkan kenaikan akibat pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Perbaikan harga CPO tersebut diperkirakan masih akan berlanjut pada 2014 hingga berada di kisaran Rp8050/kg, dibandingkan Rp6850/kg pada 2013. Menurut laporan tersebut, didorong kenaikan harga CPO dan peningkatan produksi TBS (Tandan Buah Segar), yang diperkirakan dapat tumbuh sebesar 8 persen pada 2014, laba LSIP dapat kembali terdongkrak. (kd)