Bareksa.com - Dilansir Reuters.com, Hon Hai Precision Industry Co., Ltd. -- atau luas dikenal sebagai Foxconn Technology Group, perusahaan pemasok utama iPhone dan iPad dari Taiwan -- akan membangun pabrik untuk memproduksi barang-barang berteknologi tinggi di Amerika Serikat serta pabrik berbiaya murah di Indonesia, seiring memudarnya daya tarik China. Diterpa masalah meningkatnya biaya produksi dan kerusuhan buruh di China, Chairman Foxconn, Terry Gou, mengatakan kepada karyawannya pada hari Minggu, 26 Januari 2014, bahwa perusahaan sedang mempertimbangkan rencana ekspansi untuk mempertahankan marjin laba saat ini.
Gou menyatakan AS akan menjadi tujuan utama karena ada banyak pelanggan dan mitra Foxconn yang meminta mereka membuka pabrik di Negeri Paman Sam. Selain itu, potensi pasar Amerika juga teramat besar. Selain Amerika, Indonesia juga dinyatakan Gou bakal menjadi prioritas lainnya di tahun ini karena dipandang potensial untuk dijadikan basis produksi mereka. Struktur biaya dan keterampilan tenaga kerja di Indonesia, dipandang menarik. Dengan rencana yang tergolong ambisius tersebut, Foxconn menargetkan pendapatan tahunan mereka akan meningkat menjadi US$10 triliun, dibandingkan pendapatan 2013 sebesar US$4 triliun.
Ditambahkan Gou, Indonesia adalah negara terbaik yang mampu menggantikan China sebagai pusat manufaktur global mereka ke depan. Negeri Khatulistiwa dianggap lebih potensial untuk kepentingan ini dibandingkan India. Foxconn telah menyusun daftar negara-negara yang yang dianggap paling potensial dalam hal pertumbuhan pasar domestik, dan Indonesia berada di puncak lis itu.
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia sendiri pernah mengumumkan bahwa Foxconn ingin berinvestasi di negeri ini secara bertahap sebesar US$10 miliar selama 5 tahun. Salah satu mitra lokal yang sedang dirundingkan untuk diajak berkongsi adalah PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA).
Lanang Trihardian, analis investasi PT Syailendra Capital, mengatakan kepada Bareksa.com masuknya Foxconn ke Indonesia -- jika benar terealisir -- tentu akan berdampak positif. Ini karena produsen komponen elektronik tersebut merupakan perusahaan multinasional dan akan menanamkan modal dengan nilai yang cukup besar. Investasi ini juga memiliki beberapa efek multiplier, seperti berpotensi ikut mengurangi impor dan defisit transaksi berjalan (CAD) dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dampaknya bahkan bakal semakin signifikan jika pemasok-pemasok Foxconn juga lalu membuka pabrik mereka di sini untuk memperoleh kemudahan akses.
Industri teknologi Indonesia sendiri selama ini tidak terlalu berkembang dan mayoritas mengandalkan impor. Produksi perangkat telepon seluler di dalam negeri, misalnya, selama ini jauh di bawah kebutuhan yang ada.
ERAA adalah salah satu distributor telepon seluler terbesar di Indonesia dan memiliki ribuan outlets. Bisa dibayangkan, kata Lanang, akan tercipta sebuah sinergi produsen-distributor dari kerjasama ini. Hanya saja, kelanjutannya masih perlu ditunggu. Kesepakatan awal sudah ada, tapi belum ada perjanjian yang jelas. Detail kerjasama belum ada. Karena itu, menurutnya masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan. Perlu dicermati dulu detail perjanjiannya kelak, seperti nilai investasi kedua belah pihak serta struktur manajemen perusahaan.
Kepala Divisi Riset PT Valbury Asia Securities, Alfiansyah, memaparkan kepada Bareksa.com jika terealisir, kerjasama ini bakal berdampak positif buat ERAA. Pertama, ERAA sebagai distributor sejumlah merek telepon genggam -- seperti iPhone, Blackberry, dan lainnya -- akan lebih mudah memperoleh komponen. Kedua, pendirian pabrik Foxconn-ERAA dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi perseroan ke depan. Ini mengingat Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar perangkat telepon seluler -- bahkan nomor tiga terbesar di dunia untuk Blackberry. Ketiga, kerjasama ini akan meningkatkan efisiensi karena Foxconn berencana memproduksi perangkat keras yang lebih murah.
Saat ini perangkat Blackberry, misalnya, harus diimpor dari China atau Kanada, sehingga tentu harganya menjadi lebih mahal. Produksi di Indonesia akan membuat harga perangkat seluler menjadi relatif lebih murah serta waktu pengadaannya menjadi lebih efisien. Hal positif lainnya, Alfiansyah melihat kerjasama ini berpotensi mendorong transformasi teknologi perangkat keras bagi Indonesia dan juga membantu perbaikan neraca perdagangan.
Berdasarkan data Bareksa.com, per kuartal ketiga 2013 aktiva lancar ERAA mencapai Rp3,93 triliun, sedangkan total hutang sebesar Rp2,45 triliun. Adapun marjin laba usaha ERAA pada periode tersebut adalah sebesar 4,1 persen. Pada penutupan sesi pertama 29 Januari 2014, saham ERAA diperdagangkan di harga Rp1.170. (kd)