Menakar hantaman krisis Argentina pada pemulihan ekonomi Ind

Bareksa • 28 Jan 2014

an image
Lanang Trihardian, analis investasi Syailendra Capital

Apabila pasar saham Argentina runtuh, kemungkinan Indonesia juga akan terkena imbas berupa capital outflow.

Bareksa.com - Pasar saham Indonesia pekan lalu, awalnya, mencatat kinerja yang bagus dengan menguat empat hari berturut-turut. Namun kinerja bagus pada empat hari perdagangan tersebut hampir habis terhapus oleh penurunan tajam pasar saham pada hari Jumat, 24 Januari 2014. Pada akhir minggu tersebut IHSG tercatat merosot 59 poin atau 1,3 persen, yang dipicu oleh berita negatif mengenai devaluasi mengejutkan di Argentina dan data ekonomi China yang di bawah ekspektasi serta ancaman default sektor shadow banking-nya.

Dua berita negatif tersebut, khususnya devaluasi di Argentina, telah membuat investor global melakukan reevaluasi terhadap proses pemulihan ekonomi dunia, yang sebelumnya dianggap sudah berada pada jalur yang benar. Investor merasa khawatir apabila Argentina terpuruk dalam resesi ekonomi, negara-negara sedang berkembang lainnya akan turut terseret dalam resesi ekonomi juga, terutama negara-negara tetangganya seperti Brasil, Chile, dan Uruguay. Apalagi data ekonomi dari China hingga kini juga belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, yang membuat harapan sebelumnya bahwa ekonomi China dapat mengalami rebound tahun ini menjadi relatif kecil probabilitanya.

IHSG sendiri akhirnya harus puas ditutup menguat hanya tipis sebesar 25 poin atau +0,6 persen WoW ke level 4437. Sementara itu, investor asing sepanjang pekan lalu juga masih tercatat melakukan net buying sebesar Rp477 miliar. Sedangkan nilai tukar Rupiah justru ditutup melemah ke level Rp12.181/USD.
 
Topik yang paling banyak menjadi pembicaraan saat ini adalah devaluasi di Argentina dan apakah akan berdampak terhadap Indonesia. Rupanya Argentina selama ini telah secara artifisial mempertahankan nilai tukar mata uangnya (peso/ARS) terhadap USD di level yang terlalu mahal atau overvalued. Namun,  usaha untuk mempertahankan nilai tukar ARS tersebut memiliki biaya yang mahal. Bank Sentral Argentina bahkan telah kehilangan seperempat dari cadangan devisa yang dimilikinya, hanya di sepanjang tahun 2013. Akibatnya, pada akhir Desember 2013 cadangan devisa Argentina hanya mencapai USD 29,5 miliar. Jumlah tersebut turun kembali menjadi USD 28,5 miliar pada tiga minggu awal 2014.

Memburuknya cadangan devisa tersebut akhirnya memaksa bank sentral Argentina untuk mengambil keputusan kritis, yaitu untuk tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing, sehingga praktis nilai tukar ARS diserahkan kepada pasar. Akibatnya, tak pelak lagi ARS langsung merosot tajam -15 persen hanya dalam waktu dua hari saja.

Apa yang terjadi di Argentina tersebut mengingatkan kami akan apa yang terjadi pada Indonesia saat awal-awal krisis finansial Asia tahun 1997-1998. Saat itu pemerintah dan Bank Indonesia juga mati-matian berusaha menjaga nilai tukar Rupiah, yang berakibat turun drastisnya cadangan devisa. Penurunan cadangan devisa secara drastis tersebut akhirnya juga memaksa pemerintah dan BI untuk berhenti mengintervensi nilai tukar Rupiah di pasar. Hasil akhirnya seperti yang sudah kita ketahui bersama, Rupiah langsung terjun bebas dari sebelumnya Rp2.000-an/USD, menjadi sekitar Rp17.000/USD pada titik terrendahnya.
 
Apa yang terjadi di Argentina juga menunjukkan bahwa langkah BI yang kemarin membiarkan nilai tukar Rupiah melemah tajam >20% merupakan langkah yang tepat. BI sebenarnya sempat berusaha mengintervensi Rupiah pada awal tahun 2013. Namun, saat usaha tersebut nampaknya akan sia-sia, BI dengan cepat menghentikan kebijakan intervensi.

Memang, akibatnya Rupiah terdepresiasi dari sekitar Rp9.500/USD menjadi sekitar Rp12.500/USD. Namun, cadangan devisa Indonesia telah naik kembali sekarang, meskipun masih di level USD99,4 miliar. Apabila waktu itu BI tetap ngotot mempertahankan nilai tukar Rupiah, kemungkinan besar kita akan tetap kebobolan, cadangan devisa turun drastis dan nilai tukar Rupiah akan tetap melemah juga.

Kini, pasar saham Indonesia memiliki risiko tambahan. Meskipun Indonesia dan Argentina tidak memiliki hubungan ekonomi yang berarti, namun apabila pasar saham Argentina runtuh, kemungkinan Indonesia juga akan terkena imbas berupa capital outflow. IHSG pekan ini akan bergerak di kisaran 4250 - 4494. (kd)

*Lanang Trihardian adalah analis investasi PT Syailendra Capital