Setelah "Pesta Pasar Saham" Indonesia berakhir

Bareksa • 07 Jan 2014

an image
Lanang Trihardian, analis investasi Syailendra Capital

Tahun 2014 seharusnya menjadi cerita yang berbeda dibandingkan 2013.

Bareksa.com - Tahun 2013 baru saja kita lewati dan menjadi tahun yang kurang baik bagi pasar saham Indonesia. Sepanjang tahun 2013 IHSG mencatat kinerja sebesar -1 persen -- kinerja yang terburuk sejak tahun 2008, pada saat badai krisis finansial global terjadi. Apabila dilihat dari kaca mata investor asing, kinerja IHSG bahkan jauh lebih buruk, sebesar -21%, akibat merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap US$.

Harus diakui, setelah mengalami masa-masa super bullish 2009-2012, “pesta” pada pasar saham Indonesia nampaknya sudah berakhir. Indonesia yang sebelumnya menjadi “anak emas” investor global, kini telah berbalik menjadi salah satu tujuan investasi yang paling tidak diminati oleh investor asing.

Namun 2014 ini seharusnya menjadi cerita yang berbeda dibandingkan 2013. Kami menilai beberapa risiko utama Indonesia di 2013, seperti masalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit), tekanan inflasi, dan depresiasi Rupiah, akan mereda di 2014, khususnya di semester II. Apabila defisit transaksi berjalan sudah turun ke sekitar 2-2,5 persen, inflasi mereda ke level 5 persenan, dan Rupiah cenderung stabil di semester 2 tahun 2014, kami melihat indeks berpotensi besar untuk menguat di 2014. Kami juga memperkirakan pemilu 2014 akan berlangsung relatif lancar dan tidak akan memiliki dampak yang signifikan, kecuali apabila Jokowi terpilih sebagai presiden.
 
BPS Kamis lalu mengumumkan data Inflasi bulan Desember 2013 yang mencatatkan hasil yang relatif sesuai dengan ekspektasi, meskipun tercatat naik dibandingkan bulan November. Inflasi Desember tercatat sebesar 8,38 persen YoY atau naik tipis dibandingkan bulan November sebesar 8,37 persen, serta sedikit lebih tinggi dari ekspektasi konsensus sebesar 8,33 persen. Sedangkan secara Month-on-Month, inflasi bulan Desember juga turut mengalami kenaikan menjadi 0,55 persen MoM dibandingkan bulan sebelumnya sebesar +0,12 persen -- lagi-lagi sedikit di atas ekspektasi konsensus sebesar 0,5 persen.

Data tersebut kami nilai masih cukup bagus, karena meskipun inflasi masih terus bertahan di atas 8 persen, namun masih relatif terkendali dalam waktu dekat ini. Kami perkirakan inflasi masih akan tinggi di 1Q14, sebelum secara gradual turun ke level 5-6 persen YoY memasuki kuartal III 2014, saat dampak kenaikan harga BBM subsidi secara year-on-year sudah akan hilang.

Sementara itu, data neraca perdagangan Indonesia kembali menghantarkan kejutan positif. Neraca perdagangan bulan November 2013 berhasil mencatat surplus yang mengalahkan ekspektasi konsensus. Surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$777 juta, atau lebih besar dari ekspektasi konsensus sebesar US$75 juta maupun surplus bulan Oktober sebesar US$24 juta.

Surplus perdagangan yang keduakalinya secara berturut-turut tersebut telah membuat investor dapat lebih optimis memandang permasalahan defisit transaksi berjalan di 2014. Kini Indonesia telah berada di jalur yang benar untuk menekan defisit transaksi berjalan ke level yang lebih sehat, sekitar 2-2,5 persen. Surplus neraca perdagangan terutama disebabkan oleh meningkatnya ekspor non migas sebesar +1,5 persen MoM, yang menurut kami dipicu oleh kenaikan ekspor batu bara dan CPO, serta turunnya impor non migas secara signifikan sebesar -8,1 persen MoM. Perbaikan pada data neraca perdagangan tersebut mulai mencerminkan dampak kenaikan suku bunga BI rate dan depresiasi Rupiah yang mencapai lebih dari 20 persen.
 
Semakin membaiknya kondisi neraca perdagangan Indonesia pada bulan November telah membuat risiko defisit transaksi berjalan kini turun signifikan. Kami menilai data inflasi maupun neraca perdagangan telah menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sudah berada pada jalur yang benar. Kenaikan suku bunga dan depresiasi Rupiah mulai menunjukkan dampak yang diharapkan, yaitu penurunan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dan berkelanjutan. Kini kami menilai potensi kenaikan suku bunga menjadi relatif kecil. Kalaupun suku bunga masih perlu naik, kenaikan sebesar 25 basis poin sudah cukup. IHSG pekan ini akan bergerak di kisaran 4109-4327.

*Lanang Trihardian adalah analis investasi PT Syailendra Capital