Bareksa.com - Michelle Chia, analis PT CIMB Securities Indonesia mengkhawatirkan defisit neraca berjalan (CAD) masih akan bisa terjadi. Data November 2013 menunjukkan ada surplus sebesar USD777 juta, naik dibandingkan Oktober yang positif sebesar USD24 juta. Namun, surplus yang dicapai berkat pengetatan kebijakan domestik dan pulihnya permintaan komoditas global kini berisiko dijegal oleh rencana kebijakan melarang ekspor bahan mineral mentah yang akan diterapkan pada 12 Januari mendatang.
Menurut Michelle, larangan tersebut berpotensi memotong ekspor sekitar USD466 juta per bulan atau USD5,6 miliar per tahun; dan menambah 0,6 persen poin pada proyeksi angka defisit (CAD) 2014 dari CIMB Securities, yang semula adalah sebesar 2,7 persen PDB.
Data CIMB menunjukkan bahwa setelah naik 2,4 persen pada Oktober 2013, angka ekspor sebenarnya merosot 2.4 persen di bulan November. Yang menjadi juru selamat adalah anjloknya impor pada November sebesar 10,5 persen year on year, dibandingkan -8,9 persen pada bulan sebelumnya. Membaiknya angka surplus perdagangan di bulan November ini -- tertinggi sejak Maret 2013 -- sepenuhnya dipicu oleh sektor non-migas -- di mana meningkatnya impor minyak justru melebarkan angka defisit migas menjadi USD1,193 miliar. Ini dibantu dengan berpadunya faktor naiknya suku bunga dan depresiasi Rupiah dalam memangkas permintaan domestik akan barang-barang impor.
Sejalan, analis PT Macquarie Capital Securities, Aimee Kaye, juga berpendapat bahwa surplus di bulan November 2013 belum stabil karena utamanya disebabkan oleh penurunan impor yang hanya bersifat sementara. Sementara itu, sisi ekspor belum menunjukkan ada perbaikan signifikan dan kini bakal diperparah dengan larangan ekspor bahan mineral mentah tersebut. Hal ini bakal membuat Indonesia semakin bergantung pada kondisi global, di mana jika permintaan global akan komoditas menurun maka neraca perdagangan dapat kembali defisit.
Sebagaimana diberitakan JPNN.com, isu ini berawal dari niat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mulai memberlakukan penerapan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) No. 4/2009 pada 12 Januari mendatang, beserta dua peraturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah No. 10/2010 dan Peraturan Menteri ESDM No. 7/2012. Menteri ESDM Jero Wacik menegaskan bahwa kementeriannya tidak akan menunda pemberlakuan UU Minerba tersebut.
Diatur dalam UU tersebut, efektif mulai 12 Januari 2014, perusahaan-perusahaan pertambangan tidak boleh lagi mengekspor bijih mineral mentah dan diwajibkan memproses hasil tambang mereka di Indonesia untuk kemudian diekspor. Menurut data CIMB, nital ekspor bahan mineral mentah selama ini adalah USD466 juta per bulan atau sekitar USD5,6 miliar per tahun.
Beleid itu kini menjadi polemik terkait dengan permasalahan CAD yang sedang melilit Indonesia sekarang, yang justru menuntut adanya peningkatan ekspor. Selain itu, ada banyak pihak yang menuding pemberlakuan UU Minerba tersebut hanya akan memberikan berkah bagi investor asing yang memiliki modal besar dan sanggup membangun smelter (mesin pengolah bahan mentah) di Indonesia. Padahal, dalam kondisi sekarang, perusahaan-perusahaan tambang dalam negeri sedang sesak nafas dengan keterbatasan modal. Menimbang impak negatifnya, pemerintah sedang mempersiapkan peraturan baru sebagai jalan tengah, antara lain untuk memberikan kelonggaran bagi perusahaan-perusahaan yang saat ini sudah melakukan pemrosesan dan dalam proses membangun smelter di Tanah Air. (kd)