Rupiah terpuruk, sudah saatnyakah kita panik

Bareksa • 17 Dec 2013

an image
Lanang Trihardian, analis investasi Syailendra Capital

Nilai tukar Rupiah yang terus tertekan membuat investor was-was, khususnya terhadap dampaknya kepada inflasi di 2014.

Bareksa.com - Pasar saham Indonesia masih belum mampu keluar dari kondisi super bearish-nya, yang terlihat pada pola perdagangannya minggu lalu. Sempat menguat pada awal-awal minggu hingga mendekati level 4300, pasar saham kemudian mengalami koreksi tajam pada hari Kamis-Jumat sehingga harus ditutup di bawah level 4200.

Nilai tukar Rupiah yang terus tertekan membuat investor merasa was-was, khususnya terhadap dampaknya kepada inflasi di 2014 nanti. Investor juga masih mencemaskan hasil pertemuan the Fed yang akan dilangsungkan pada tanggal 17-18 Desember ini. Investor menunggu sinyal dari the Fed sampai kapan program stimulus ekonomi akan dilangsungkan dan apabila akan dikurangi, seberapa besar pengurangannya.

Melemahnya indeks terjadi relatif merata di hampir semua sektor, yang dimotori oleh sektor komoditas (AALI, LSIP, ITMG, HRUM, & UNTR) dan sektor properti (SMRA, BSDE, ASRI, & CTRS). IHSG akhirnya harus ditutup melemah tipis sebesar 6 poin atau 0,1% WoW ke level 4175. Sementara itu, investor asing masih melanjutkan aksi net selling-nya minggu lalu sebesar Rp559 miliar. Sedangkan nilai tukar Rupiah mengalami koreksi tajam pekan lalu hingga menembus level psikologis Rp12.000/USD dan ditutup di levelRp12.106/USD.

Kami memahami kekhawatiran investor dalam melihat pergerakan nilai tukar Rupiah akhir-akhir ini yang terlihat mulai meningkat fluktuasinya. Bagaimanapun juga Rupiah masih menjadi salah satu indikator penting, jika bukan yang terpenting, dari kesehatan ekonomi Indonesia. Kondisi seperti itu sudah berkali-kali terbukti secara historis. Pelemahan Rupiah juga dikhawatirkan akan memicu inflasi akibat melonjaknya harga barang impor.

Namun, kami juga ingin mengingatkan investor untuk melihat sisi lain dari pelemahan Rupiah. Selama ini masalah terbesar yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia adalah defisit transaksi berjalan yang terlalu besar. Defisit transaksi berjalan inilah yang membuat pasar modal Indonesia turun lebih dalam dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Cara paling masuk akal untuk menekan defisit transaksi berjalan adalah depresiasi Rupiah!

Dengan melemahnya nilai tukar Rupiah, otomatis akan meningkatkan daya saing produk Indonesia untuk pasar ekspor karena harganya mendadak menjadi jauh lebih kompetitif. Di saat yang sama, pelemahan Rupiah juga membuat produk impor menjadi kurang kompetitif, karena menjadi lebih mahal. Dengan demikian depresiasi Rupiah akan mendorong ekspor, sekaligus menekan impor. Hasilnya adalah neraca perdagangan akan membaik dan disusul oleh transaksi berjalan yang lebih sehat.
 
Berdasarkan alasan di atas, kami menilai pelemahan Rupiah hingga menembus level Rp12.000/USD tidak harus membuat kita panik, paling tidak untuk saat ini. Data makro ekonomi terakhir mulai menunjukkan perbaikan, di mana transaksi berjalan bulan Oktober mencatat hasil surplus USD42 juta. Kami memperkirakan seiring dengan pelemahan Rupiah, kondisi transaksi berjalan akan semakin cenderung ke arah surplus untuk 3-6 bulan ke depan. Sehingga kita bisa berharap angka defisit transaksi berjalan akan secara gradual turun ke level yang lebih berkesinambungan. IHSG pekan ini akan bergerak di kisaran 4015 - 4276.
 
*Lanang Trihardian adalah analis investasi Syailendra Capital