Drama Reklamasi Anies - Sandi, Begini Kinerja Emiten PJAA, APLN dan DILD
Wewenang, tanggung jawab dan kepastian kelanjutan proyek reklamasi tetap berada di tangan Gubernur DKI Jakarta
Wewenang, tanggung jawab dan kepastian kelanjutan proyek reklamasi tetap berada di tangan Gubernur DKI Jakarta
Bareksa.com- Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang baru dilantik masih enggan memastikan kelanjutan proyek reklamasi di pantai utara Ibu Kota, meski hal pemerintah pusat sudah memberikan lampu hijau. Para developer yang mengembangkan pulau-pulau dalam megaproyek itu pun terancam tidak menerima pendapatan dari dana yang sudah mereka tanamkan.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sudah resmi mencabut moratorium reklamasi 17 pulau di pesisir utara Jakarta yang memberi titik terang bagi kelanjutan proyek tersebut. Bahkan, Luhut sudah berbicara dengan Anies dan Sandi untuk mempertimbangkan hal itu tetapi belum ada kesepakatan. Namun, wewenang, tanggung jawab dan kepastian kelanjutan proyek reklamasi disebutkan tetap berada di tangan Gubernur DKI Jakarta, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) 52 tahun 1995.
Sejumlah developer, seperti PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), dan PT Intiland Development Tbk (DILD) adalah di antara pengembang properti tercatat di Bursa Efek Indonesia yang memiliki proyek reklamasi. Mereka sudah mendapat izin sejak 2015 tetapi polemik antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan proyek ini terhenti meski tidak sedikit dana yang sudah dikeluarkan oleh para pengembang.
Promo Terbaru di Bareksa
Terlepas dari kelanjutan reklamasi tersebut, bagaimana kinerja para emiten properti yang memiliki proyek di pantai utara Jakarta itu?
Secara umum pada pertengahan tahun ini, kinerja emiten properti membaik jika dibandingkan periode sebelumnya, ditopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penurunan suku bunga kredit, rampungnya sejumlah infrastruktur strategis penunjang infrastruktur, dampak positif investment grade dan relaksasi aturan loan to value oleh Bank Indonesia.
Emiten pertama adalah Jaya Ancol, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta. Pada semester I-2017, pengembang ini menunjukkan kinerja yang kembali menguat, setelah laba perusahaan melonjak dua kali lipat menjadi Rp106 miliar pada tengah tahun 2017 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal pendapatan hanya naik 5 persen menjadi Rp569 miliar.
Hal ini terdorong pendapatan bunga yang naik 3,5 kali lipat menjadi Rp21 miliar dari sebelumnya Rp6,8 miliar. Selain itu, laba bersih dari entitas asisoasi juga melesat 6 kali lipat menjadi Rp13 miliar dari sebelumnya Rp2,2 miliar.
Dari sisi neraca, kas Jaya Ancol masih berkisar Rp631 miliar per Juni 2017. Angka tersebut terbilang masih aman untuk membayar obligasi dan utang bank yang akan jatuh tempo pada tahun 2017 dengan nilai masing-masing sebesarRp199 miliar dan Rp300 miliar.
Pemilik taman rekreasi Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi ini telah mengantongi hak reklamasi empat pulau, yaitu Pulau I seluas 405 hektare (dengan kepemilikan saham 50 persen), Pulau J seluas 316 hektare, Pulau K seluas 32 hektare dan Pulau L seluas 481 hektare berdasarkan Peraturan Gubernur No. 121 Tahun 2012.
Seperti diberitakan sebelumnya, dibutuhkan investasi sekitar Rp2,5 triliun untuk membangun taman rekreasi di pulau hasil reklamasi tersebut. Tidak hanya pembangunan reklamasi Pulau K, Jaya Ancol juga akan mengembangkan pantai timur Ancol yang dinamakan Pantai Ancol Lagoon sepanjang 3,4 km.
Grafik: Laba Saham DILD, APLN dan PJAA
Sumber: Bareksa.com
Emiten properti lainnya adalah Intiland, yang hingga pertengahan tahun ini mengantongi laba sebesar Rp187,6 miliar. Angka tersebut naik 25 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp150,6 miliar, didukung tingginya penjualan kawasan industri.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan pada semester I-2017 penjualan kawasan industri mencapai Rp571 miliar. Hal ini sangat fantastis bila dibandingkan tahun sebelumnya tidak ada pendapatan dari pos tersebut.
Meskipun rasio utang Intiland berada di posisi 1,21 kali, angka tersebut melonjak lebih dari 2 kali lipat dalam lima tahun terakhir, tapi utang bank yang akan jatuh tempo pada tahun ini Rp344 miliar. Sementara posisi kas Intiland masih sebesar Rp638 miliar.
Grafik: Pendapatan Saham DILD, APLN dan PJAA
Sumber: Bareksa.com
Emiten yang terakhir adalah Agung Podomoro Land, yang terpantau mencatat laba paling melonjak. Agung Podomoro mencatat laba melonjak 126 persen menjadi Rp696 miliar dari sebelumnyaRp308 miliar. Hal ini tedorong adanya penjualan lahan di kawasan industri seluas 216 hektare di Karawang, Jawa Barat kepada China Fortune Land Development (CFLD).
Penjualan lahan tersebut sebelumnya dimiliki lewat anak usahanya PT Alam Makmur Indah. APLN telah mengantongi penjualan senilai Rp1,4 triliun, sehingga berhasil mendorong pendapatan perusahaan menjadi Rp3,9 triliun dari sebelumnya Rp2,9 triliun.
Adapun utang perusahaan yang harus dilunasi pada tahun ini adalah utang obligasi yang mencapai Rp2,4 triliun sementara utang bank mencapai Rp457 miliar. Sementara itu kas perusahaan melonjak menjadi Rp3,4 triliun dari sebelumnya Rp1,18 triliun
Kini Agung Podomoro tengah melanjutkan reklamasi di Pulau G, pulau buatan dengan luas sekitar 161 hektare dan berlokasi di wilayah utara Jakarta. Mengutip laporan keuangan per Juni 2017, jumlah tercatat aset reklamasi Pulau G adalah sebesar Rp 2,54 triliun.
Senior Analyst Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan pengaruh penundaan proyek reklamasi terhadap sejumlah emiten hanya sebatas sentimen di pasar saham saja. Hal ini terlihat dari kinerja keuangan para developer yang sebenarnya membaik meski proyek di pantai utara Jakarta tersebut belum berjalan.
"Beberapa emiten terkait proyek reklamasi seperti APLN secara sentimen jelas akan terpengaruh," ujarnya ketika dihubungi Bareksa.com.
Sementara itu, riset Trimegah Sekuritas yang sudah dibagikan kepada nasabah September lalu juga menilai bahwa saham APLN masih menarik untuk dicermati karena menunjukkan pembalikan arah yang didukung kinerja keuangannya. Disebutkan dalam riset, prapenjualan Agung Podomoro juga terbilang luar biasa karena hingga tengah tahun ini perseroan sudah mencatat marketing sales Rp2,3 triliun, atau 67 persen dari target setahun. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.