Kisruh Biaya Top Up e-Money, Ini Dampaknya ke Saham BBRI, BMRI, BBCA, dan BBNI
Harga saham perbankan sepekan terakhir tercatat fluktuatif
Harga saham perbankan sepekan terakhir tercatat fluktuatif
Bareksa.com - Rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menerbitkan aturan soal biaya isi ulang (top up fee) uang elektronik atau e-money terus menuai kritikan dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dinilai kontradiktif dengan kebijakan BI yang sedang menggalakan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Kebijakan pengenaan biaya top up e-money ini dirasa kurang tepat, karena justru akan memberatkan konsumen.
"Pengenaan fee top up e-money merupakan hal yang kurang tepat dilakukan untuk saat ini. Apalagi kebijakan tersebut bertepatan dengan elektronifikasi pembiayaan jalan tol. Ini kontradiktif," kata Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada VIVA.co.id, Ahad, 17 September 2017.
Kontradiktif yang dimaksudnya adalah, BI mendorong masyarakat untuk lebih banyak menggunakan e-money, sementara di sisi lain justru mengenakan pungutan. Padahal, bisnis e-money sendiri sudah cukup menguntungkan perbankan. Karena pada saat pelanggan membeli kartu e-money di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan. Artinya uang hasil penjualan kartu e-money telah masuk ke pembukuan bank sebagai fee based income bank. (Baca juga : Top Up E-Money Dikenai Biaya? Pendapatan Komisi 4 Bank Ini Ternyata Cukup Besar)
Promo Terbaru di Bareksa
Menurut Bhima, pada 2016 nilai transaksi e-money telah mencapai Rp 7 triliun. Jika diasumsikan fee based income sebesar 5 persen, maka bank penerbit e-money telah meraup untung sebesar Rp 350 miliar. "Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut top up fee meskipun hanya Rp 1.000 sekali transaksi top up. Karena hal tersebut memberatkan konsumen." ujar dia.
Kinerja Saham Perbankan
Dalam sepekan terakhir, ketika isu ini ramai diperbincangkan dan menuai protes masyarakat, harga saham perbankan tercatat fluktuatif.
Dari empat bank besar, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mengalami fluktuasi, malah cenderung menguat pada Senin kemarin. Adapun saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) baru selesai proses pecah nolai (stocksplit). (Lihat juga : Melihat Lebih Dekat Gerak Saham BMRI Pasca Stock Split, Menguat atau Melemah?)
Tercatat saham BBCA yang pada Senin pekan lalu diperdagangkan di level Rp 18.900 per saham, kemudian pada Senin, 18 September 2017 kemarin menguat jadi Rp 18.975 per saham. BBCA bahkan sempat menyentuh level tertinggi sepekan terakhir yakni pada Kamis, 19 September di level Rp 19.100 per saham.
Harga Saham BBCA Sepekan Terakhir
sumber : Bareksa.com
Tidak berbeda saham BBRI yang pada Senin pekan lalu di level Rp 14.950 per saham, kemudian sempat turun jadi Rp 14.825 per saham pada Kamis, namun pada Senin 18 September 2017 kembali menguat ke level Rp 15.000 per saham atau menguat 50 poin. (Baca : Menuai Kritik Masyarakat, Ini Alasan Bank Tarik Biaya Top Up Uang Elektronik)
Harga Saham BBRI Sepekan Terakhir
Sumber : Bareksa.com
Adapun saham BBNI yang pada Senin pekan lalu di level Rp 7.225 per saham, sempat melonjak jadi Rp 7.275 per saham pada Jumat, kemudian sedikit menurun jadi Rp 7.250 per saham pada Senin 18 September 2017. (Lihat : BI Gandeng 7 Bank Implementasikan Elekronifikasi Pembayaran Jalan Tol 100 Persen)
Harga Saham BBNI Sepekan Terakhir
Sumber : Bareks.com
Rasio Harga Saham BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI
Guna mengetahui murah atau mahalnya harga saham keempat bank tersebut, Bareksa menganalisis rasio harga saham terhadap laba per saham (PER). PER adalah rasio yang cukup umum dipakai oleh analis sebagai alat ukur untuk menilai suatu saham tergolong mahal atau murah. Rasio ini juga dapat digunakan untuk menentukan harga wajar suatu saham.
PER BBCA, BBNI, BMRI, dan BBRI
Sumber : data BEI, diolah Bareksa
Apabila di rata-rata, rasio P/E keempat bank tersebut berada di kisaran 15,5 kali, artinya BBNI dan BBRI yang rasio P/E nya berada di bawah rata-rata dapat menjadi pertimbangan karena tergolong lebih murah dibandingkan dengan yang lain.
Hingga perdagangan hari ini, Selasa, 19 September 2017, pukul 9.30 pergerakan keempat saham tersebut cenderung flat alias tidak banyak mengalami perubahan menyusul isu pengenaan top up fee kepada nasabah. (Lihat juga : Kisruh Fee Top Up e-Money, Alasan BI, Protes YLKI, hingga Pelaporan ke Ombudsman)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.