BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Mantan Dirut Emirsyah Jadi Tersangka KPK, Bagaimana Keadaan Garuda Kini?

27 Januari 2017
Tags:
Mantan Dirut Emirsyah Jadi Tersangka KPK, Bagaimana Keadaan Garuda Kini?
Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar menjawab pertanyaan wartawan saat masih menjabat di maskapai penerbangan tersebut. ANTARA FOTO/Zarqoni Maksum

Garuda membukukan rugi bersih Rp572 miliar sepanjang Januari-September 2016

Bareksa.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 19 Januari 2017 telah menetapkan dua tersangka pada kasus pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Kedua tersangka itu adalah mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo.

Emirsyah, yang menjabat sebagai Dirut di Garuda selama 10 tahun hingga 2014, diduga menerima suap dari Rolls Royce untuk memuluskan proses tender mesin pesawat yang dipakai maskapai nasional itu dan membuka rekening di Singapura. Sementara itu, Soetikno Soedarjo diduga menjadi perantara pemberi suap dalam kapasitasnya sebagai pemilik (beneficial owner) konsultan bisnis pesawat Connaught International.

Berada di dalam pusaran kasus dugaan suap tersebut, harga saham GIAA di pasar modal tidak terpengaruh signifikan, hanya saja terjadi penurunan 2,26 persen pada tanggal pengumuman KPK tersebut. Meskipun demikian, harga saham GIAA saat ini tidak berubah sejak awal tahun di level Rp338 per saham (per penutupan 26 Januari 2017).

Promo Terbaru di Bareksa

Grafik: Pergerakan Harga Saham GIAA Secara Year to Date (YTD)

Illustration

Sumber: Bareksa,com

Bila dilihat dalam jangka yang lebih jauh, setahun terakhir, kinerja saham GIAA memang tidak terlalu baik. Harga saham GIAA sudah turun 11,29 persen dibandingkan level setahun lalu di Rp381. Meski pada tahun 2016 harga saham GIAA sempat menguat hingga menyentuh level tertinggi Rp565 pada 13 April 2016, harga saham ini kembali melemah hingga akhir tahun lalu.

Pelemahan harga saham GIAA juga seiring dengan fundamental yang kurang baik. Sepanjang sembilan bulan pertama 2016, Garuda mencatat penurunan pendapatan menjadi Rp37 triliun, turun 10 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp41 triliun. Turunnya pendapatan Garuda antara lain disebabkan semakin ketatnya persaingan dengan penerbangan low cost carrier (LCC) yang mengakibatkan maskapai full service kesulitan menaikkan harga tiket.

Padahal, sisi biaya bahan bakar, yang menjadi komponen terbesar biaya operasional Garuda, telah berhasil ditekan sebesar 15,8 persen menjadi Rp9 triliun. Seiring dengan penurunan itu, porsi bahan bakar pun semakin menyusut dalam biaya operasional Garuda, yang mencapai Rp21,8 triliun per September 2016. Komponen bahan bakar ini berkontribusi 41 persen dari total biaya operasi Garuda, mengecil dibandingkan 47,9 persen pada 2015 dan 60,9 persen pada 2014.

Grafik: Porsi Bahan Bakar Terhadap Total Biaya Operasional Garuda

Illustration

Sumber: Laporan Keuangan perusahaan

Penurunan biaya bahan bakar ini ternyata datang dari melemahnya harga minyak dunia. Pada tahun lalu, harga minyak dunia (WTI) sempat mencapai level terendah di US$30 per barel, jauh dibandingkan pada 2015 yang bisa mencapai US$100 per barel. Kini harga minyak dunia berada di level $53,08 per barel.

Meski mendapat berkah dari penurunan harga minyak dunia yang bisa menghemat biaya bahan bakar, Garuda masih harus menderita kerugian dari selisih kurs. Perseroan menderita rugi selisih kurs sebesar Rp291 miliar pada Januari-September 2016, dibandingkan untung kurs Rp455 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.

Seperti diketahui, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS menjadi faktor yang signifikan bagi keuangan perseroan. Pasalnya, mayoritas pendapatan Garuda adalah penjualan tiket dalam rupiah, sementara biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan bakar dihitung dalam dolar AS.

Dengan tekanan dari pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS dan penurunan pendapatan ini, Garuda pun membukukan rugi bersih Rp572 miliar sepanjang Januari-September 2016, membalikkan laba bersih Rp734 miliar pada periode sama tahun lalu.

Grafik: Laba dan Pendapatan GIAA

Illustration

Sumber: Bareksa.com

Selain itu, perusahaan maskapai nasional terbesar ini juga harus menanggung beban dari langkah agresif sebelumnya dalam menambah jumlah pesawat. Pada akhir September 2016, jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda mencapai 194 unit. Rata-rata pertumbuhan pesawat per tahun mencapai 38,5 persen dalam tiga tahun terakhir ini.

Grafik: Jumlah Pesawat Garuda (Total) dan Citilink

Illustration

Sumber: Presentasi perusahaan

Untuk membiayai ekspansi tersebut, Garuda harus berutang termasuk menerbitkan obligasi senilai Rp2 triliun pada 2013. Pada bulan Mei 2015, Garuda juga melaksanakan penerbitan sukuk global senilai US$500 juta dengan jangka waktu lima tahun. Langkah ini turut mendorong jumlah utang Garuda dan berdampak pada kesehatan keuangan perseroan.

Berdasarkan laporan presentasi per September 2016, net gearing Garuda kembali meningkat menjadi 1,2 kali. Padahal pada Februari 2011, Garuda menerbitkan saham perdana (initial public offering) sehingga modal perusahaan menjadi naik dan membuat rasio net gearing turun hingga 0,05 kali.

Rasio net gearing digunakan untuk melihat sejauh apa modal perseroan setelah dikurangi cash dapat menutup utang-utang yang berbunga (interest bearing). Dengan demikian semakin besar rasio semakin besar risiko perusahaan tidak dapat menutupi utangnya.

Grafik: Rasio Net Gearing Garuda

Illustration

Sumber: Presentasi perusahaan

Menghadapi biaya yang begitu besar ini, Garuda pun merencanakan sejumlah program efisiensi senilai US$200 juta untuk tahun 2017. Dua komponen biaya terbesar yang akan dipangkas adalah biaya armada dan overhead cost. Selain itu, perusahaan juga melakukan renegosiasi untuk kontrak-kontrak dalam dua tahun terakhir.

Di sisi lain, Garuda juga berencana untuk melepas saham anak usaha di bidang perawatan pesawat, yakni GMF AeroAsia, dalam penawaran perdana (initial public offering/IPO) tahun ini. (hm)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.382,65

Up0,56%
Up4,26%
Up7,54%
Up8,69%
Up19,21%
-

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.093,4

Up0,43%
Up4,43%
Up6,99%
Up7,44%
Up2,54%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.079,4

Up0,60%
Up3,98%
Up7,06%
Up7,74%
--

Capital Fixed Income Fund

1.844,45

Up0,53%
Up3,89%
Up6,66%
Up7,38%
Up17,02%
Up40,39%

Insight Renewable Energy Fund

2.270,42

Up0,81%
Up3,88%
Up6,54%
Up7,20%
Up20,19%
Up35,64%
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua