Poltak Hotradero: "Samai Thailand Saja, Reksa Dana RI Bisa Tumbuh 12 Kali Lipat"
"Saya heran apakah orang Indonesia ini tidak merasa sayang sama uang mereka, atau memang tidak merasa perlu."
"Saya heran apakah orang Indonesia ini tidak merasa sayang sama uang mereka, atau memang tidak merasa perlu."
Bareksa.com - Industri reksa dana di Indonesia mulai berkembang. Sejak tahun 2009 Asset Under Management (AUM, nilai dana kelolaan) terus meningkat. Berdasarkan data Bareksa, AUM reksa dana di Indonesia pada tahun 2009 barulah Rp72 triliun. Namun, angka ini melonjak hingga mencapai Rp272 triliun di akhir tahun 2015. Per Mei 2016 kemarin, angkanya naik lagi menjadi Rp299 triliun.
Di Indonesia, jenis reksa dana yang lebih berkembang adalah reksa dana saham. Total dana kelolaannya mencapai 37,7 persen, sedangkan reksa dana pendapatan tetap 19,8 persen, dan reksa dana pasar uang cuma 10,7 persen.
Untuk mendalami perkembangan industri reksa dana ini, Bareksa mewawancarai mantan Head of Research and Development Bursa Efek Indonesia (BEI), Poltak Hotradero. Kini Poltak menjabat sebagai Head of Issuer Information Management and Development BEI.
Promo Terbaru di Bareksa
Di dunia keuangan dan pasar modal, nama Poltak sudah tidak asing lagi. Ekonom lulusan University of Bristol ini sudah berkecimpung di pasar modal sejak tahun 1998. Sebelum masuk BEI, pada kurun waktu 2007-10 Poltak menjabat sebagai Head of Research & Economist PT Recapital Securities.
Berikut kutipan wawancara dengan lelaki kelahiran Bandung yang merupakan aktivis Twitter dengan nama akun @hotradero ini.
Saat ini reksa dana saham merupakan jenis reksa dana dengan komposisi AUM terbesar di Indonesia. Kalau di negara-negara lain bagaimana?
Iya, berdasarkan data dari OJK mengenai pengelolaan investasi dari dulu sepertinya belum ada perubahan. Reksa dana saham memang merupakan yang terbesar dibandingkan reksa dana pendapatan tetap ataupun reksa dana pasar uang.
Pada dasarnya, reksa dana kita itu secara ekstrem memang berbeda dengan di negara-negara lain. Komposisi reksa dana di negara-negara lain lebih banyak di pasar uang; semakin sophisticated jenis reksa dananya, maka peminatnya semakin kecil. Reksa dana pasar uang itu risikonya paling rendah, jadi itu mestinya memang selalu menjadi bagian yang paling besar. Kedua adalah reksa dana pendapatan tetap, setelah itu barulah reksa dana saham yang paling berisiko, berada di posisi paling puncak.
Grafik: Persentase Reksa Dana di Indonesia
Sumber: Bareksa
Kenapa di Indonesia terjadi anomali?
Nah, di Indonesia itu aneh. Proporsi terbesar reksa dana kita itu justru reksa dana saham yang kita tahu risikonya lebih besar. Yang menjadi pertanyaan, kenapa yang semakin aman malah semakin sedikit peminatnya? Ini kan menjadi pertanyaan. Apakah ini by design atau by accident?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu kompleks. Tapi, yang jelas, kalau kita melihat struktur seperti itu maka sulit untuk melihat industri reksa dana kita bisa lebih besar lagi ke depannya. Padahal, industri reksa dana di Indonesia punya ruang untuk bertumbuh sangat besar.
Grafik: Perkembangan AUM Reksa Dana Indonesia Sejak 2009
Sumber: Bareksa
Anda bilang industri reksa dana di Indonesia bisa bertumbuh lebih besar lagi. Apa alasannya?
Saat ini AUM reksa dana kita sekitar Rp270-280 triliun. Kita asumsikan penduduk Indonesia ada 250 juta. Dengan demikian, angka kasar per kapita reksa dana di Indonesia adalah Rp1 juta per orang. Angka itu ekuivalen dengan $80. Nah, angka $80 itu jika dibandingkan dengan PDB Indonesia hanya sekitar 2 persen.
Coba bandingkan dengan negara tetangga kita menggunakan parameter yang sama. Di kawasan regional yang mirip dengan Indonesia adalah Filipina. Namun, Filipina hingga saat ini memang punya permasalahan dengan pasar modalnya sehingga tidak bisa berkembang. Di atas kita sedikit, ada Thailand. Di Thailand, jika dihitung AUM reksa dana dibagi jumlah penduduknya mencapai angka $1.000 per kapita. Jadi, jika Indonesia bisa tumbuh menjadi seperti Thailand saja, maka industri reksa dana di Indonesia berarti masih punya ruang untuk tumbuh hingga 12 kali lipat.
Bagaimana proporsi reksa dana di Thailand?
Di Thailand juga proporsi paling besar adalah reksa dana pasar uang. Ini yang membuat saya agak susah menangkap fenomena reksa dana di Indonesia. Saya kurang tahu apakah orang Indonesia kurang kritis atau bagaimana, karena kok masih saja mengharapkan bunga tabungan. Pada dasarnya bunga tabungan itu kecil sekali. Salah satu tabungan terkenal hanya memberikan bunga 0,77 persen per tahun. Ini belum lagi nasabah akan dikenakan pajak dan biaya administrasi bank.
Kenapa pola pikir menabung masih begitu dominan di Indonesia?
Kalau dibandingkan dengan inflasi, tentu menabung akan membuat tekor nasabah karena akan tergerus inflasi dan daya belinya jadi hilang. Tetapi, kalau kita lihat dana di perbankan itu sangat besar, mencapai Rp4.000 triliun. Jadi, masyarakat Indonesia itu bukan tidak punya uang masuk ke reksa dana, tetapi uangnya berada di perbankan.
Produk bank yang lain, deposito, juga besar. Ini mencapai 80 persen di sistem keuangan kita. Ukurannya sangat besar, padahal bunganya akan turun terus, selain itu masih dipotong pajak dan biaya administrasi.
Saya lihat Indonesia ini aneh. Kalau bunga tabungan dibandingkan potensi return reksa dana pasar uang jelas-jelas kalah telak, tetapi kalau dibandingkan dengan deposito juga ada selisih return yang cukup besar. Saya heran apakah orang Indonesia ini tidak merasa sayang sama uang mereka, atau memang tidak merasa perlu, atau karena belum kenal reksa dana pasar uang?
Akar masalahnya di mana?
Ada banyak. Kita harus mengakui di Indonesia perbankan sangat kuat dan melakukan program promosi macam-macam. Saya melihat orang Indonesia itu mudah terpikat promosi, walaupun secara statistik kesempatan menang sebetulnya hampir nol. Perbankan kita punya kesuksesan luar biasa dengan campaign mereka sehingga dana masyarakat masuk ke perbankan.
Di sisi lain, reksa dana pasar uang di Indonesia memang masih bermasalah. Volumenya masih terlalu kecil, instrumennya terlalu kecil, dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Hal inilah yang perlu diperbaiki. Jika tidak diperbaiki, maka industri keuangan kita punya masalah inefisiensi yang cukup serius. Sumber dana produk bank itu adalah dana jangka pendek tetapi disalurkan untuk kredit jangka panjang.
Jika tidak diperbaiki maka kita akan punya masalah dengan pendidikan masyarakat kita. Bagaimana pasar uang kita bisa berkembang kalau semua orang yang punya uang lebih hanya menggunakan produk perbankan. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah penduduk muda yang harusnya mampu berfikir jangka panjang. Bukan berarti tidak boleh punya produk bank, menabung di bank. Tetapi, selain produk bank yang sifatnya jangka pendek, masyarakat juga harus punya produk yang sifatnya jangka panjang.
Pembangunan di Indonesia itu kekurangan uang karena posisi Money and Quasi Money (M2) kita hanya sekitar 40 persen. Itu artinya, uang semua orang di Indonesia itu hanya 40 persen dari total PDB. Kita bandingkan dengan Malaysia yang M2 to GDP-nya mencapai 120 persen. Untuk membangun infrastruktur saja kita butuh Rp4.000 triliun. Kalau kita gabungkan uang kita semua saja, tidak cukup.
Oleh karena itu peluang tumbuh industri reksa dana kita masih sangat besar. Jika bisa tumbuh hingga 12 kali lipat saja, AUM-nya mencapai hampir Rp3 ribu triliun. Hal ini tentu bisa menjadi sumber pendanaan dan penggalangan dana di dalam negeri yang sangat besar. Banyak masalah yang bisa kita selesaikan dengan itu.
Bunga tabungan bank begitu kecil dan turun terus. Kenapa masyarakat terus saja menaruh uang di bank?
Mungkin masyarakat awam memang tidak sensitif dengan tingkat suku bunga. Tetapi, mereka yang punya dana besar biasanya sensitif. Kita lihat profil dana pihak ketiga di bank. Berdasarkan data LPS, ada sekitar 100 ribuan lebih rekening yang nilainya di atas batas penjaminan LPS yaitu Rp2 miliar. Jika ditotal jumlah simpanan nasabah ini mencapai 90 persen dari keseluruhan simpanan masyarakat di bank.
Hal ini berarti jika ada penurunan suku bunga, yang terus didorong oleh pemerintah saat ini, akan sangat berdampak kepada 90 persen tadi. Kalau benar rekening-rekening tersebut bergeser tentu akan ada shock di perbankan.
Ditambah lagi, pemilik rekening dengan nilai lebih dari Rp2 miliar itu adalah institusi dan perusahaan. Suku bunga akan sangat tercermin di laporan keuangan mereka. Institusi dan perusahaan pasti menginginkan laporan keuangan mereka semakin bagus. Hal ini akan membuat mereka mencari financing yang lebih murah atau suku bunga yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, perbankan sebaiknya jangan lengah. Karena begitu nasabah ini bergeser maka periode perbankan mendapatkan dana mudah sudah mulai berakhir.
Apakah Tax Amnesty akan berpengaruh terhadap reksa dana, khususnya reksa dana pasar uang?
Kalau masuk ke reksa dana pasar uang sih saya menyambut baik. Itu akan mendorong likuiditas menjadi lebih baik. Tetapi, yang harus kita ketahui, dana repatriasi yang masuk ke Indonesia bukan untuk mencari return. Mereka mencari keamanan. Dan tidak ada yang lebih aman lagi selain pasar uang.
Manajer Investasi sudah siap menyambut dana repatriasi tersebut?
Kalau dibilang siap, ya belum. Saat ini saja produk reksadana pasar uang di MI tidak lebih banyak daripada reksa dana saham. Padahal kita harus siap karena kalau dana tersebut masuk. Kalau belum siap maka Indonesia akan kesulitan.
Saat ini instumen yang paling likuid dan aman itu adalah Surat Berharga Negara (SBN). Nilai transaksi SBN mencapai Rp14-16 triliun per hari. Inilah yang akan pertama-tama diincar oleh dana repatriasi. Kemungkinan kedua, yang diincar adalah obligasi BUMN. Obligasi BUMN saat ini dipandang mempunyai tingkat risiko yang sangat rendah dan cukup aman. Sekali lagi, para pemilik dana di Singapura tidak mencari return yang besar, lebih mencari keamanan. Di Singapura itu tingkat bunganya sangat rendah. Mereka di sana tidak mencari return, tapi keamanan. Selain dua instrumen itu, yang juga potensial diincar dana repatriasi adalah reksa dana penyertaan terbatas (RDPT), yang biasanya erat kaitannya dengan pembangunan proyek tertentu.
Kuatkah Manajer Investasi kita menampung dana hingga Rp3.000 triliun?
Saya kira tidak akan sampai Rp3.000 triliun. Mungkin saja hanya Rp2 ribu triliun. Tidak ada yang tahu persis seberapa besar dana tersebut. Jika kita samakan perilaku Indonesia dengan Singapura, berdasarkan laporan Credit Suisse dari total dana yang ada di luar negeri itu 50 persennya berbentuk properti. Nah, kalau kekayaannya dalam bentuk properti bagaimana mereka membawanya kembali ke Indonesia? Paling hanya 50 persen saja yang bentuknya berupa investasi portofolio. Apalagi kita tahu orang Indonesia selama berpuluh-puluh tahun merupakan pembeli apartemen nomor satu di Singapura. (kd)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.