Ditinggal Samadikun Hartono Buron 13 Tahun, Begini Jatuh Bangun Modern Group
Setelah krisis 1997-98, dua perusahaan terbuka milik Modern Group, MDRN dan MDLN, terbelit utang dalam jumlah besar.
Setelah krisis 1997-98, dua perusahaan terbuka milik Modern Group, MDRN dan MDLN, terbelit utang dalam jumlah besar.
Bareksa.com - Buronan kasus penyelewengan dana Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono, akhirnya tertangkap di China, sesaat sebelum ajang balap Formula-1 dimulai, Jumat 15 April 2016. Samadikun yang telah buron selama 13 tahun, merupakan salah satu pendiri Modern Group yang bisnisnya terkembang mulai dari distributor Fujifilm, pengembang properti Modernland, hingga perusahaan retail 7-Eleven.
Bagaimana perkembangan bisnis grup ini setelah kaburnya Samadikun ke luar negeri?
Modern Group bermula dari sebuah perusahaan distributor perlengkapan fotografi bernama PT Modern Photo Film Company (MPF) yang terbentuk 12 Mei 1971. Ho Tjek atau lebih dikenal dengan nama Otje Honoris (ayah Samadikun) bersama anak-anaknya menjadi distributor tunggal bagi semua produk Fujifilm Jepang di Indonesia. Bahkan, perusahaan ini berhasil memproduksi kamera pertama buatan Indonesia bermerek Fujica M-1.
Promo Terbaru di Bareksa
Setelah Otje meninggal pada tahun 1982, bisnis Modern Group diteruskan oleh keempat anaknya, yakni Luntungan Honoris, Sungkono Honoris, Samadikun Hartono, dan Siewie Honoris. Samadikun dipercaya memimpin bisnis keluarga ini. Mereka lalu mendirikan PT Inti Putra Modern sebagai perusahaan induk.
Modern Group kemudian merambah berbagai bisnis lain, mulai dari industri, perdagangan, properti, transportasi, keuangan, pariwisata, hingga jasa periklanan. Dihantam krisis moneter 1997, kelompok usaha ini terbelit utang.
Seperti banyak bank lain, Bank Modern pun tercekik masalah likuiditas. Bank Indonesia kemudian menggelontorkan dana talangan (BLBI) untuk menjaga likuiditas bank tersebut. Namun, sebagaimana dituduhkan jaksa, dana tersebut malah disalahgunakan Samadikun yang kala itu menjabat sebagai Komisaris Utama. BI Kemudian menutup Bank Modern pada tahun 1998.
Samadikun ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2003, namun berhasil melarikan diri ke luar negeri sebelum masuk bui. Menurut sumber Bareksa, sejak menjadi buron, Samadikun tidak memiliki bisnis apapun di Indonesia.
Sepeninggal Samadikun dan diteruskan saudara-saudaranya, bisnis Modern Group bergulat keluar dari jurang kebangkrutan. Setelah krisis 1997-98, dua perusahaan terbuka milik Modern Group--PT Modern Photo Film (sekarang PT Modern Internasional Tbk (MDRN)) dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN)--terbelit utang dalam jumlah besar.
Pada tahun 1997 rasio utang terhadap modal debt to equity ratio, DER) MDRN melonjak menjadi 262 persen dari sebelumnya hanya 66 persen. Ini karena total utang menggelembung nyaris empat kali lipat menjadi Rp710 miliar dari sebelumnya hanya Rp205 miliar. Ini terjadi gara-gara anjloknya nilai tukar rupiah yang mencapai 600 persen di periode tersebut.
Utang perusahaan terus membengkak sampai pada puncaknya di tahun 2004 mencapai Rp829 miliar, bertolak belakang dengan nilai ekuitas yang terus menyusut menjadi Rp162 miliar dari sebelumnya di kisaran Rp310 miliar.
Kekangan utang baru bisa dikurangi pada tahun 2006 setelah perseroan melakukan aksi debt to equity swap atau penukaran utang menjadi penyertaan modal. Setelah aksi ini, total utang perseroan menyusut 24 persen menjadi Rp580 miliar dari sebelumnya Rp762 miliar. DER menunjukkan angka yang lebih sehat, dari sebelumnya 608 persen menjadi 185 persen.
Modern Group harus merelakan melepas sebagian saham kepada Asialink Electronics, yang lalu menjadi pemilik mayoritas di PT Modern Internasional Tbk. Setelah transaksi ini, Asialink memiliki 53,1 persen saham MDRN, sementara Modern Group melalui PT Inti Putra Modern hanya memiliki 17,2 persen.
Grafik: Rasio Utang Terhadap Modal dan Pendapatan MDRN
Sumber: Bareksa
Cobaan datang lagi saat bisnis inti perseroan, yakni distributor perlengkapan fotografi konvensional, mulai tergusur. Teknologi kamera digital tanpa ampun menggergaji pendapatan perusahaan sejak tahun 2000-an. Mengantisipasi fenomena ini, perseroan mulai menggeser fokus usaha dengan merambah bisnis retail. Pada tahun 2009, PT Modern Internasional melalui anak usahanya, PT Modern Putra Indonesia, membuka kios retail 7-Eleven pertamanya di Jakarta.
Grafik: Rasio Utang terhadap Modal MDLN
Sumber: Bareksa.com
Demikian pula halnya dengan PT Modernland Realty Tbk. Di tahun 1997 utang perseroan tercatat sebesar Rp972 miliar dengan DER 233 persen. Keadaan terus memburuk hingga 2004, di mana perseroan berada di posisi ekuitas negatif. Pada tahun 2005, penjualan sejumlah besar lahan berhasil mendongkrak pendapatan perseroan enam kali lipat menjadi Rp461 miliar dari sebelumnya hanya Rp72 miliar. Ini membantu memperbaiki kesehatan struktur modal perseroan di mana DER membaik menjadi 106 persen. (kd)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.