Harga Ayam & Telur Meroket pada Desember 2015. Apa Penyebabnya?
Harga telur yang sepanjang tahun cenderung terkendali, malah menyentuh level tertingginya pada Desember
Harga telur yang sepanjang tahun cenderung terkendali, malah menyentuh level tertingginya pada Desember
Bareksa.com - Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi 2015 sebesar 3,5 persen, lebih tinggi dari perkiraan konsensus sebesar 3,0 persen. Hal tersebut tidak terlepas dari tingginya harga bahan pangan di pengujung tahun. Yang mengejutkan, terjadi peningkatan harga ayam lebih tinggi dibanding harga jual pada saat Hari Raya Idul Fitri. Melonjaknya harga ayam juga diiringi peningkatan harga telur yang sebenarnya sepanjang tahun cenderung terkendali, hingga menyentuh level tertingginya pada Desember.
Berdasarkan penelusuran Bareksa, peningkatan harga tidak terlepas dari beberapa faktor di antaranya peningkatan permintaan dan juga naiknya biaya produksi. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Pada Agustus - Oktober 2015, harga ayam broiler serta produk unggas lain, yakni telur ayam ras turun karena produksinya melebihi permintaan pasar. Di satu sisi, konsumen mendapat keuntungan lantaran harga yang murah. Tapi di sisi lain, peternak menderita rugi cukup besar karena harus menjual dengan harga rendah untuk dapat bertahan di pasar.
Promo Terbaru di Bareksa
Demi menciptakan harga yang lebih adil bagi konsumen maupun peternak, pemerintah melakukan langkah pengendalian produksi dengan memusnahkan sejumlah besar bibit ayam atau day old chicks (DOC). "Ada 15 perusahaan besar, sudah setuju mengurangi DOC sebanyak 6 juta ekor," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman kepada pers 21 September 2015.
Langkah tersebut cukup berhasil mengurangi produksi yang berlebih dan sukses mengangkat kembali harga jual ayam di pasar. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa rata-rata harga ayam broiler per November mulai naik dan diikuti juga oleh peningkatan harga telur.
Tapi sayangnya, peningkatan harga menjadi sulit dikendalikan beberapa bulan terakhir, lantaran biaya produksi ikut terkerek naik. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan impor jagung justru menjadi masalah bagi industri peternakan ayam. “Saya tegaskan, kami terus mendorong peningkatan produksi jagung, kami juga terus kendalikan impor," ujar Amran kepada media saat melakukan panen jagung di Desa Sumber, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Rabu 30 September 2015.
Pengendalian impor jagung dikeluhkan Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) kepada Kementerian Pertanian karena kebijakan itu membuat kelangkaan pasokan jagung untuk kebutuhan pakan ternak di dalam negeri. Hal tersebut diakui oleh Direktur Pakan Ternak Kementan Nasrullah . "Belum ada keputusan berapa (impor) yang diizinkan, kemarin hanya dikeluarkan (SPP/Surat Persetujuan Pemasukan) sekitar 250.000 ton. Keinginan industri (pakan ternak) masuk 250.000 ton lagi," kata Nasrullah dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Kamis 22 Oktober 2015.
Pakan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi ayam. Berdasarkan riset yang dipublikasikan CIMB Securities pada 3 Desember 2015, pakan memberi kontribusi sebesar 40 persen dari harga pokok produksi ayam, lebih tinggi dibanding biaya pembelian bibit (DOC) yang menyumbang 25 persen pada biaya produksi. Kesulitan mendapatkan pakan akan memberi impak besar terhadap keberlangsungan bisnis peternakan.
Grafik: Perkembangan Harga Ayam & Telur Akhir 2015
sumber: Kementerian Perdagangan, diolah Bareksa
Menjelang libur panjang Natal & Tahun Baru 2016, pemerintah berupaya menekan biaya produksi produk unggas dengan mematok batas atas harga DOC. Tapi sayangnya, kebijakan tersebut tidak cukup sukses untuk mengendalikan harga jual di pasar.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan harga rata-rata ayam broiler pada Desember 2015 mencapai Rp.32.552 per kilogram, lebih tinggi dibanding kisaran harga pada saat momen Lebaran di kisaran Rp31.000 - 31.800 per kilogram. Lebih parah lagi harga telur ayam ras mencapai Rp24.023 per kilogram, atau tertinggi sepanjang 2015.
Langkah pengendalian impor jagung oleh pemerintah juga pernah dikeluhkan Desianto Budi Utomo, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makan Ternak (GPMT) dan direktur PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). "Kondisi-kondisi ini telah menciptakan ekonomi biaya tinggi yang mendorong harga jual tinggi," ujarnya seperti dikutip dari VOA Indonesia 1 Oktober 2015 dalam menanggapi langkah pengendalian impor jagung yang dilakukan pemerintah.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah | 1.380,2 | 1,09% | 5,00% | 7,35% | 8,50% | 19,34% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.090,33 | 0,49% | 5,21% | 6,68% | 7,14% | 2,71% | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.838,73 | 0,53% | 3,93% | 6,33% | 7,43% | 17,20% | 39,76% |
STAR Stable Amanah Sukuk | 1.075,71 | 0,66% | 3,97% | 6,69% | - | - | - |
Insight Renewable Energy Fund | 2.259,31 | 0,74% | 3,72% | 6,02% | 7,00% | 19,69% | 35,52% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.