Serumit Apa Proses Penggabungan PGN & Pertagas?
Opsi wacana mungkin PGN akuisisi Pertagas atau Pertamina akuisisi PGN
Opsi wacana mungkin PGN akuisisi Pertagas atau Pertamina akuisisi PGN
Bareksa.com - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan akan membentuk sejumlah perusahaan holding termasuk di sektor usaha gas untuk mendukung sinergi di entitas pelat merah. Wacana penggabungan dua perusahaan negara di bidang gas, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS atau PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) pun muncul kembali.
Seiring dengan munculnya wacana itu, sejumlah opsi penggabungan dua perusahaan ini juga mungkin terjadi antara anak usaha Pertamina tersebut dan perusahaan yang sudah terbuka (go public). Opsinya antara lain: Pertagas mengakuisisi saham PGN, Pertagas mengakuisisi PGN dengan tukar guling (swap) saham, PGN mengakuisisi Pertagas, dan pemerintah mengalihkan kepemilikan di PGN kepada Pertamina.
Pengamat menilai bahwa skema penggabungan apa pun, asal mematuhi undang-undang dan peraturan pasar modal, secara hukum dapat saja dilakukan. Namun, opsi PGN mengakuisisi Pertagas dinilai paling baik karena mendukung transparansi melalui perusahaan yang sudah go public. Baca juga: Lebih Baik PGN Ambil Pertagas Atau Sebaliknya? Ini Penilaian Pakar Investasi
Promo Terbaru di Bareksa
Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri menilai bahwa pengambilalihan Pertagas oleh PGN di sisi pasar modal merupakan hal positif karena dapat mendukung perkembangan perusahaan terbuka tersebut. "Tapi hal itu kembali lagi kepada pemerintah, mau jadi apa perusahaan gas ini," ujarnya ketika dihubungi Bareksa.com
Dia menjelaskan opsi PGN mengakuisisi Pertagas cukup membutuhkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam hal ini hanya suara pemegang saham publik independen, sedangkan suara pemerintah tidak dihitung dalam RUPS karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Selain itu, skema akuisisi juga harus disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Akan tetapi, dibutuhkan juga persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena menyangkut pelepasan atau pembelian aset negara. Bila Pertamina akan melepas kepemilikan Pertagas, hal itu dianggap sebagai penjualan aset negara sehingga dibutuhkan persetujuan DPR setelah ada pengajuan dari Kementerian Keuangan. Persetujuan DPR juga diperlukan bila Pertamina akan membeli PGN karena dinilai ada penambahan aset.
"Persetujuan DPR diperlukan untuk Pertamina. Untuk PGN, persetujuan dari pemegang saham independen dan OJK," katanya.
Sementara itu, Said Didu, bekas Sekretaris Menteri Negara BUMN, yang kini menjabat staf khusus di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), pernah menjabarkan sulitnya proses penggabungan dua perusahaan negara itu. Apalagi, bila skemanya akuisisi PGN oleh Pertamina. Said Didu melalui akun Twitter-nya mengatakan berita tentang akuisisi PGN oleh Pertamina merupakan masalah strategis yang menyangkut banyak hal dan harus merupakan keputusan pemerintah.
Berdasarkan UU No. 17/2003, UU No. 19/2003, dan PP 41/2003, keputusan tentang merger dan akuisisi BUMN merupakan kewenangan menteri keuangan. Jika Menteri BUMN memutuskan Pertamina mengakuisisi PGN, hal itu belum keputusan pemerintah, tetapi baru keputusan RUPS. Artinya, Pertamina mendapat izin untuk melakukan persiapan akuisisi PGN.
"Hasil kajian Pertamina akan menjadi bahan Menteri BUMN/RUPS untuk meminta persetujuan menteri keuangan selaku pemegang saham BUMN. Karena ini menyangkut hal strategis, maka sebelum menteri keuangan mengeluarkan keputusan pemerintah, biasanya ada rapat koordinasi di Menteri Koordinator Perekonomian," ujarnya dalam akun Twitter-nya @saididu.
Bila menteri keuangan setuju, dikeluarkan surat persetujuan menteri keuangan tentang akuisisi tersebut. Persetujuan itu baru sah sebagai keputusan pemerintah. Akan tetapi, proses akuisisi belum selesai, masih ada dua simpul keputusan lagi: pembahasan DPR dan RUPS Pertamina dan PGN.
Dalam opsi PGN diakuisisi Pertamina karena menyangkut perubahan status PGN sebagai BUMN menjadi bukan BUMN (anak perusahaan), maka DPR pasti berpendapat harus ada persetujuan parlemen. "Jika dibahas dengan DPR maka kemungkinan ada 3 Komisi yang akan membahas, yaitu Komisi VI, VII, dan XI -- ini tidak gampang," kata Said.
Menurut Said, ada substansi sulit untuk mendapatkan pemahaman yang sama, apakah saham pemerintah di PGN dialihkan ke Pertamina atau Pertamina membeli ke Negara. Selain masalah teknis tersebut, dipastikan akan membutuhkan kesabaran untuk menyatukan persepsi sekitar 150 anggota DPR dari 3 Komisi.
"Masalah apakah harus mendapat persetujuan DPR atau tidak, ini juga akan menghabiskan waktu untuk menyamakan persepsi. Sesuai pengalaman, jika terjadi wilayah abu-abu, maka semua pihak berhati-hati dalam mengambil keputusan sehingga akan timbul dinamika," ujarnya.
Bahan diskusi lain adalah apakah akuisisi tersebut merupakan sekedar pemindahan saham pemerintah di PGN atau Pertamina membayar pemerintah. Jika pemerintah dan DPR (jika diperlukan) sudah setuju, maka Pertamina dan PGN menggelar RUPS untuk eksekusi.
Dalam prosesnya, seperti tertera dalam UU Pasar Modal, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas memiliki konflik kepentingan (conflict of interest), sehingga tidak berhak memberikan suara. "Artinya hanya pemegang saham publik yang memiliki hak suara, apakah PGN diakuisisi atau tidak. Hal ini menandakan opsi setuju atau tidak masih terbuka."
Namun, apabila persetujuan pemerintah dan DPR (jika diperlukan) adalah Pertamina membeli saham PGN, tidak perlu persetujuan pemilik saham publik. "Pertanyaannya, apakah lebih efisien Pertamina membeli saham pemerintah di PGN atau menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan Pertagas?" kata Said.
Grafik Alur Proses Bila Pertamina Akuisisi PGN
Sumber: Kultwit Said Didu
Wacana penggabungan atau merger antara kedua perusahaan negara ini sebenarnya sudah pernah dikeluarkan dalam pemerintahan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN saat itu akhirnya menghentikan pembahasan rencana merger karena menganggap permasalahan persaingan antara dua entitas itu -- yang menjadi alasan isu merger -- dapat terselesaikan tanpa harus ada aksi korporasi.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.