BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Dijatuhi Sanksi Menkeu, Benarkah JP Morgan Rekomendasikan Jual Obligasi RI?

28 Agustus 2015
Tags:
Dijatuhi Sanksi Menkeu, Benarkah JP Morgan Rekomendasikan Jual Obligasi RI?
A sign outside the headquarters of JP Morgan Chase & Co in New York, September 19, 2013. (Reuters/Mike Segar)

Inilah bunyi laporan selengkapnya JP Morgan.

Bareksa.com - Pemerintah menjatuhkan sanksi kepada sekuritas asing JP Morgan (BK) akibat luas diberitakan telah merekomendasikan "sell" obligasi Indonesia, di tengah memuncaknya kepanikan investor pasar modal beberapa waktu lalu. Sanksi ini memantik pro kontra. Pasalnya, JP Morgan sebetulnya bukan secara eksplisit merekomendasikan "jual" seperti yang banyak dikabarkan (baca antara lain berita ini), melainkan "underweight". Namun, ada juga sebagian kalangan yang menuding JP Morgan sedang "mengail di air keruh".

Insiden ini membuat Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro memberikan teguran keras kepada JP Morgan. "(Mereka) sudah kami tegur, sudah kami beri sanksi," Bambang menegaskan kepada wartawan.

Sanksi dijatuhkan karena pemerintah khawatir rekomendasi JP Morgan memicu panik di kalangan investor obligasi yang kemudian menggelinding menjadi bola salju di saat pasar modal sedang tertekan hebat.

Promo Terbaru di Bareksa

Sebagai gambaran, kejadian serupa pernah terjadi di Thailand, delapan tahun lalu, yang dampaknya kemudian menjalar hebat ke berbagai negara di kawasan Asia Timur dan menjelma menjadi krisis finansial 1997. Krisis ini diawali penarikan dana besar-besaran dari pasar obligasi Thailand. (Baca juga: Nilai Tukar Terus Melemah, Benarkah Kondisi Saat Ini Sama dengan Krisis 1997?)

Menurut dokumen yang diperoleh Bareksa, laporan riset JP Morgan yang diperuntukkan bagi nasabahnya pada tanggal 20 Agustus 2015 itu ditulis Arthur Luk dan Bert Gochet, ahli strategi obligasi JP Morgan. Tertera di laporan itu, mereka sebetulnya memotong rating obligasi pemerintah Indonesia dari semula "overweight" menjadi "underweight" -- bukan memberikan rekomendasi "jual".

Dengan label "underweight" itu, JP Morgan memberikan bobot investasi obligasi Indonesia lebih kecil dibandingkan obligasi negara-negara berkembang (emerging market) lainnya.

Terkait hal ini Rangga Cipta, ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, menjelaskan rekomendasi JP Morgan itu diperhitungkan secara relatif terhadap negara lain. Jadi, penilaian tergantung pada kebijakan investasi dari tiap-tiap investor. Apakah rekomendasi itu lantas serta-merta mendorong investor asing melego habis obligasi Indonesia, jawabannya belum tentu.

"Tanya bonds trader, investor asing banyak yang masuk kok minggu ini," kata Rangga kepada Bareksa.

Yang mungkin terjadi, proporsi obligasi Indonesia lalu dikurangi di sejumlah portofolio manajer investasi.

Illustration
Sumber: Bareksa.com

Data Bareksa juga menunjukkan dana investor asing di obligasi pemerintah masih tinggi, mencapai Rp533 triliun per 24 Agustus 2015. Secara year-to-date, total arus dana investor asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp72,25 triliun. Kondisinya berbanding terbalik dengan pasar saham di mana justru terjadi arus keluar Rp19 triliun.

3 kekhawatiran JP Morgan

Sebetulnya apa yang mendasari rekomendasi JP Morgan?

Arthur Luk dan Bert Gochet menilai setidaknya ada tiga hal yang membuat pasar obligasi pemerintah Indonesia lebih berisiko dibandingkan negara berkembang lainnya.

Pertama, devaluasi Yuan China. Menurut mereka, kondisi ini memperburuk kondisi pasar dan bahkan dapat menjadi pemicu situasi bearish yang lebih parah di emerging market, termasuk Indonesia. Terlebih lagi, kondisi pasar obligasi Indonesia dinilai sudah overweight.

Luk dan Gochet juga melihat beta obligasi (tingkat sensitivitas terhadap perubahan tingkat bunga) di negara-negara emerging market mulai meningkat akibat kebijakan yang diambil bank sentral China tersebut.

Yang lebih dikhawatirkan, menurut mereka, adalah posisi kurva yield NDF (Non Deliverable Forward) rupiah yang lebih tinggi dibandingkan kurva yield obligasi 10 tahun pemerintah (INDOGB). NDF merupakan alat lindung mata uang bagi investor asing yang memegang aset dalam bentuk rupiah.

Semakin lama kurva NDF berada di atas kurva INDOGB, akan semakin meningkatkan risiko karena potensi kerugian kurs investor asing lebih tinggi dibandingkan keuntungan berupa yield obligasi. Pada posisi ini biasanya investor akan mengurangi posisi obligasi mereka.

Grafik: Perbandingan Kurva NDF dengan Yield Obligasi Pemerintah 10 Tahun (INDOGB)

Illustration

Sumber: JP Morgan Report

Faktor kedua, aliran dana asing mulai keluar dari emerging market. Data EPFR (penyedia data arus kas investor) terbaru menunjukkan, setidaknya ada $2 miliar dana investor asing yang mulai melepas kepemilikan di obligasi negara-negara emerging market pada minggu lalu. “Meningkatnya aliran dana keluar yang tiba-tiba sejak devaluasi Yuan bukan pertanda baik untuk aset kelas GBI-EM yang telah terkoreksi 10,8 persen sejak awal tahun,” begitu tertera di laporan itu.

Grafik: Pergerakan Redemption Reksa Dana GBI-EM Intensif Seminggu Terakhir

Illustration

Sumber: JP Morgan Report

Sementara itu, bobot investor asing di obligasi pemerintah sedang tinggi, mencapai 38,36 persen dari keseluruhan. Ini lebih tinggi dari rata-rata sepanjang Januari 2011 - Agustus 2015 yang hanya berkisar 33,5 persen, sehingga meningkatkan risiko keluarnya dana investor asing dari obligasi Indonesia jika kepercayaan mereka terus merosot.

Grafik: Bobot Dana Investor Asing terhadap Obligasi Pemerintah yang Diperdagangkan di Periode 2011 - Agustus 2015
Illustration
Sumber: DJPPR Kementerian Keuangan

Ketiga, meningkatnya kekhawatiran atas jumlah obligasi baru yang diterbitkan pemerintah. Analis JP Morgan khawatir jumlahnya akan lebih besar dari yang dianggarkan untuk tahun 2015. Kondisi ini bisa terjadi karena penerimaan dari sektor pajak tidak sesuai dengan target yang ditetapkan, dan kemudian membuat defisit fiskal pemerintah membengkak.

Jika kesenjangan penerimaan ini tidak dapat ditambal pada akhir tahun, pemerintah akan perlu mencari sumber pendanaan baru yang belum dianggarkan.

Kondisi ini diperparah dengan rendahnya imbal hasil riil (real yield) obligasi pemerintah Indonesia -- yield obligasi 10 tahun pemerintah setelah dikurangi faktor inflasi. Data Bareksa menunjukkan real yield obligasi pemerintah Indonesia lebih kecil dibandingkan negara-negara emerging market lain seperti Brasil, Turki, dan juga Afrika Selatan. Hal ini bisa jadi alasan bagi investor asing untuk hengkang dari Indonesia dan memilih negara yang menawarkan imbal hasil yang lebih menarik.

Grafik: Perbandingan Real Yield Obligasi Pemerintah Indonesia dengan 3 Negara Emerging Market

Illustration
Sumber: Investing & Bloomberg, diolah Bareksa

Perlu dicatat, selain menyoroti naiknya tingkat risiko obligasi pemerintah Indonesia dalam jangka pendek, laporan JP Morgan itu juga menyodorkan dua hal positif sebagai rekomendasi untuk jangka panjang.

Pertama, inflasi hingga akhir tahun diperkirakan akan turun menjadi 4 persen dari per Juli 2015 yakni 7,26 persen. Sehingga dengan turunnya inflasi, real yield berpotensi naik dari 1,34 persen pada saat ini menjadi 4,5-5 persen di akhir tahun.

Kedua, spread (selisih) antara yield obligasi pemerintah 10 tahun dengan yield Treasury AS menyentuh titik rata-rata dalam kurun waktu Januari 2005 - Agustus 2015. Artinya, secara valuasi, obligasi pemerintah Indonesia sudah cukup murah dan atraktif.

Akan tetapi, begitu mereka mencatat, bahwa apakah dua katalis tersebut bisa menahan dana investor asing, lagi-lagi tergantung dari pergerakan nilai tukar rupiah. Jika semakin melemah, tentu investor tidak bakal memetik manfaat tersebut. (kd)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.382,65

Up0,56%
Up4,26%
Up7,54%
Up8,69%
Up19,21%
-

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.093,4

Up0,43%
Up4,43%
Up6,99%
Up7,44%
Up2,54%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.079,4

Up0,60%
Up3,98%
Up7,06%
Up7,74%
--

Capital Fixed Income Fund

1.844,45

Up0,53%
Up3,89%
Up6,66%
Up7,38%
Up17,02%
Up40,39%

Insight Renewable Energy Fund

2.270,42

Up0,81%
Up3,88%
Up6,54%
Up7,20%
Up20,19%
Up35,64%
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua