Antam & Inalum Disuruh Beli Divestasi Saham Freeport; Dari Mana Uangnya?
Antam baru dapat suntikan PMN, sementara liabilitas Inalum masih kecil.
Antam baru dapat suntikan PMN, sementara liabilitas Inalum masih kecil.
Bareksa.com - Ketentuan pelepasan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) dari induknya di Amerika Serikat sudah melewati tenggat waktu. Namun, hingga kini kajian belum selesai, apalagi kesepakatan mengenai skema pelepasan saham 10,64 persen PTFI dari pihak asing ke Indonesia.
Seperti yang sudah ramai diberitakan di sejumlah media, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno akan mendorong dua BUMN, yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM/Antam) dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) untuk mengambil saham yang akan dilepas dari Freeport McMoran Inc tersebut. Akuisisi oleh BUMN merupakan salah satu dari sejumlah opsi divestasi termasuk pengambilalihan langsung oleh pemerintah dan kemungkinan penawaran perdana (initial public offering/IPO) saham di bursa.
Adapun rencana perhitungan nilai divestasinya juga terdiri atas sejumlah opsi. Pengamat pertambangan yang juga mantan Direktur Jenderal Minerba ESDM Simon Sembiring, seperti dikutip Kontan, mengatakan bila berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 27/2013, perhitungan nilai divestasi mengacu pada investasi yang dikeluarkan Freeport dari kurun waktu 1973 hingga 2014 sebesar US$10,7 miliar. Dengan hitungan itu, pemerintah harus membayar US$1,13 miliar (Rp15,42 triliun) untuk menguasai 10,64 persen saham Freeport.
Promo Terbaru di Bareksa
Dalam opsi lain, BUMN mendapat prioritas untuk membeli saham pemilik tambang tembaga dan emas terbesar nasional itu. Aset Freeport Indonesia per Juni 2014 sebesar US$7,97 miliar. Bila dihitung berdasarkan asetnya, maka harga 10,64 persen saham Freeport Indonesia sekitar US$840 juta. Dengan kurs Rp13.650 per dolar AS, maka nilai tersebut mencapai Rp11,46 triliun.
Permasalahannya adalah bila Antam -- baik bersama Inalum maupun sendirian -- mengambil alih 10,64 persen saham Freeport Indonesia, apakah dananya ada? Bila pun dananya tersedia, apakah aksi tersebut feasible bagi operasional dan keuangan Antam?
Secara keuangan, Antam memiliki aset sebesar Rp22,55 triliun per Juni 2015. Pada saat bersamaan, jumlah ekuitas sebesar Rp11,57 triliun dan liabilitas Rp10,97 triliun. Adapun liabilitas jangka panjang perseroan mencapai Rp7,04 triliun. Rasio utang (debt to equity ratio/DER) perseroan juga sebenarnya masih baik 0,78 kali. Selain itu, perusahaan tambang mineral ini juga baru saja mendapat suntikan modal dari pemerintah melalui penerbitan saham dengan hak memesan efek (rights issue). Antam mendapat penyertaan modal negara (PNM) sebesar Rp3,5 triliun, seperti yang sudah ditetapkan dalam APBN 2015. Suntikan dana segar ini tentunya dapat meningkatkan ekuitas perseroan dan memperkuat kemampuan utang perseroan.
Sayangnya, rights issue Antam yang ditargetkan mencapai Rp5,3 triliun itu dikabarkan tidak terlalu laris. Apalagi, tidak ada pembeli siaga yang dapat menyerap saham baru perseroan sehingga target perolehan dana terancam tidak tercapai. Padahal, ANTM sudah menunjuk tiga sekuritas BUMN untuk menjadi penjamin emisi (underwriter) pelaksanaan aksi korporasi ini, yaitu Bahana Securities, Mandiri Sekuritas dan Danareksa Sekuritas. Perseroan juga menunjuk agen penjual internasional, yaitu Credit Suisse dan CIMB untuk menggaet investor asing bila publik tidak mengeksekusi hak mereka.
Di sisi lain, alokasi Rp3,5 triliun dana rights issue tersebut utamanya adalah untuk proyek pembangunan pabrik feronikel tahap I. Pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah cadangan nikel yang dimiliki Perseroan melalui peningkatan kapasitas produksi feronikel. Sementara sisanya untuk membiayai modal kerja.
Pembangunan pabrik feronikel di Halmahera Timur itu hanyalah satu dari tiga proyek utama Antam dengan investasi total US$3,34 miliar, atau setara Rp45,5 triliun. Dua proyek lain adalah pabrik anoda slime (lumpur anoda) untuk pemurnian emas di Jawa Timur, dan pembangunan smelter grade alumina (SGA) di Mempawah. Meski SGA Mempawah akan diwujudkan dengan patungan (joint venture) dengan Inalum, tetap saja kebutuhan dana Antam masih besar.
Tabel Rincian Tiga Proyek Utama Antam
Sumber: Antam
Kalaupun Antam didorong untuk mengambil alih saham Freeport Indonesia, tentunya perusahaan tersebut butuh tambahan modal lagi. Namun, sepertinya belum ada alokasi suntikan dana dari pemerintah untuk perusahaan tambang mineral ini dalam rancangan anggaran di tahun depan.
Selain Antam, BUMN lain yang juga didorong untuk bisa mengambil alih saham divestasi Freeport adalah Inalum yang belum memiliki tambang untuk memasok produksi aluminiumnya. Menteri BUMN Rini Soemarno menilai Inalum memiliki kemampuan untuk melakukan aksi tersebut.
"Inalum memiliki keuangan yang sangat kuat, ditambah nilai Freeport yang sangat strategis, maka perbankan pasti mau membiayainya. Tidak hanya dalam negeri tapi juga lembaga pembiayaan internasional pasti berlomba membiayainya," ujar Rini, seperti dikutip Antara.
Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2014 audit, Inalum merupakan salah satu dari 10 BUMN dengan kontribusi laba kepada pemerintah yang terbesar. Nilai laba bagian pemerintah yang disetorkan oleh Inalum pada 2014 adalah Rp1,63 triliun. Antam masih rugi Rp775 miliar pada tahun lalu.
Namun, aset Inalum hanya Rp13,56 triliun per akhir 2014, lebih kecil dibandingkan aset Antam yang mencapai Rp22 triliun. Adapun ekuitas Inalum sebesar Rp12,2 triliun, juga lebih sedikit dibandingkan ekuitas Antam yang sudah mendapat suntikan modal menjadi Rp15,07 triliun.
Akan tetapi, liabilitas jangka panjang Inalum masih kecil, hanya Rp213 miliar yang menandakan belum banyak utang. Dengan demikian, Inalum masih memiliki kemampuan besar untuk menarik pinjaman jangka panjang yang dapat digunakan untuk mengakuisisi saham Freeport Indonesia, pemilik tambang tembaga dan emas terbesar nasional.
Tabel Perbandingkan Kinerja Keuangan Antam dan Inalum
*Asumsi Antam dapat suntikan Rp3,5 triliun dari rights issue Oktober 2015
Sumber: LKPP 2014 Audit dan Laporan Keuangan Antam Juni 2015
Pelepasan saham Freeport ke pemerintah atau entitas Indonesia merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan perpanjangan kontrak pertambangan di kompleks pertambangan Grasberg, Mimika, Papua. Freeport wajib melakukan divestasi 30 persen sahamnya, sebagaimana diamanatkan dalam PP No.77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Saat ini, pemerintah baru memegang 9,36 persen saham Freeport Indonesia. Padahal, berdasarkan PP Np.77/2014 itu paling lambat 14 Oktober 2015 Freeport sudah harus mendivestasikan lagi sahamnya sebesar 10,64 persen. Selanjutnya 10 persen lagi didivestasikan pada Oktober 2019. Polemik lainnya adalah status Freeport Indonesia adalah pemegang kontrak karya, yang seharusnya diamandemen menjadi izin usaha pertambangan (IUP) agar dapat terus berbisnis di Tanah Air.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.